Beranda > Inspiration Story > Pengalaman Dahlan Iskan Transplantasi Liver (9)

Pengalaman Dahlan Iskan Transplantasi Liver (9)

Jawa Pos, Senin, 03 Sept 2007,
Kesadaran Pulih, tapi Saya Tak Mampu Sujud Syukur

Oleh 

Dahlan Iskan (Mantan CEO Jawa Pos, Sekarang Dirut PLN)

SAYA memperoleh kesadaran penuh pada malam kedua di ICU. Di tengah malam yang sepi itu, tiba-tiba pikiran saya jernih sekali. Suara tat-tit-tat-tit mesin yang memonitor organ-organ tubuh saya terdengar kian jelas. “Saya benar-benar masih hidup,” kata hati saya. “Alhamdulillah. Puji Tuhan,” batin saya lagi. 

Tiba-tiba saya terlibat diskusi lagi dengan pikiran sendiri mengenai apa bentuk syukur yang harus saya lakukan. Sudah pasti saya belum punya kemampuan bersujud. Tapi, sujud kan tidak harus dengan kepala? Kan bisa juga yang sujud hati? Maka saya sujud dengan hati saya. Rasanya malah lebih ikhlas. Tidak ada yang lihat. Sepi sekali ing pamrih. Sebentar tapi menenangkan batin. 

Saya memang bertekad untuk tidak akan mendemonstrasikan rasa syukur itu dalam bentuk yang ekstrem. Misalnya, dengan sepanjang-panjangnya mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau bahkan sampai menitikkan air mata. Atau memotong sapi untuk acara besar-besaran. Saya khawatir, semakin panjang kalimat yang saya ucapkan, semakin saya “sudah merasa bersyukur”. Semakin banyak orang yang saya undang untuk syukuran, semakin saya “sudah merasa bersyukur banyak”. Saya akhirnya berkesimpulan akan bersyukur dengan cara “memanfaatkan umur tambahan ini dengan seproduktif-produktifnya”.

Paginya, apa pun yang di ICU terlihat jelas dan terekam baik dalam ingatan. Hari kedua di ICU itu, pagi-pagi, pimpinan rumah sakit yang juga kepala tim dokter yang menangani penggantian liver saya datang menjenguk. Karena dia pimpinan, yang menyertainya banyak sekali. “Ze me yang?” tanyanya sambil memegangi tubuh saya menanyakan apa kabar dalam bahasa Mandarin. “Hen hao,” jawab saya. Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan tidak punya keluhan apa pun.

Tentu itu basa-basi. Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya katakan. Bukan mengenai keluhan saya, melainkan soal-soal lain yang membuat saya penasaran. Yang membuat saya ingin segera tahu. Misalnya, apakah ada kesulitan yang berarti untuk melakukan operasi tadi malam? Apakah liver saya yang lama benar-benar telah rusak seperti yang diperkirakan? Atau sebenarnya masih baik, yang akan membuat saya menyesal melakukan operasi? 

Soalnya, ada juga sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan setelah perut dibuka, ternyata liver saya baik-baik saja. Jangan-jangan hasil scanner yang menyatakan liver saya sudah rusak dulu itu hanya karena alat scanner-nya “salah lihat”. Bukankah memang ada kasus-kasus “salah diagnosis” semacam itu?

Ada juga pertanyaan yang lebih penting yang ingin segera saya ketahui. Benarkah sudah ada kanker di liver lama saya? Benarkah tanpa operasi ini sebenarnya saya masih bisa hidup lima tahun lagi? Benarkah, seperti kata sebagian dokter, bahwa sebenarnya saya tinggal punya kesempatan hidup enam bulan lagi? Karena kanker sudah menjalar ke beberapa bagian di dalam liver saya?

Tapi, pertanyaan itu terlalu banyak untuk diajukan pagi itu. Juga terlalu dini. Rasanya kurang pas kalau saya sudah bertanya sejauh itu. Bukankah pagi itu dokter hanya mengunjungi saya untuk menunjukkan perhatian kepada saya? Untuk menunjukkan rasa persahabatan yang tulus? Sebab, tanpa mengunjungi saya pun dia sudah bisa baca dari laporan komputer mengenai perkembangan keadaan saya. 

Maka, saya urung mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Masih ada waku di lain hari. Toh, saya masih akan berhari-hari di rumah sakit ini. Bahkan, mungkin masih berminggu atau (kalau operasi ini gagal) masih akan berbulan lagi.

Saya malah berubah pikiran dengan cepat. Saya justru bergegas menunjuk ke perawat yang berdiri di arah kaki saya. “Dokter, perawat-perawat rumah sakit ini luar biasa. Tadi malam mereka bekerja keras sepanjang malam, tanpa istirahat sedikit pun,” kata saya kepada pimpinan rumah sakit itu. 

Sang pimpinan tersenyum senang. Lalu dia mendekat ke arah perawat dan memegang-megang pundaknya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dan, saya kira memang tidak perlu ada kata-kata apa pun. Tepukan tangan ke pundak anak buah seperti itu sudah melebihi pujian yang diucapkan dengan ribuan kata.

“Terima kasih, Mr Yu memuji saya di depan pimpinan,” kata perawat itu kepada saya setelah rombongan pimpinan berlalu. Di Tiongkok nama saya memang Yu Shi Gan (baca: i-se-kan), sehingga cukup dipanggil nama depannya saja (Yu) yang dikira nama marga saya.

Saya tidak basa-basi memuji para perawat itu. Saya memang benar-benar ingin memujinya. Kerja yang luar biasa keras itu harus ada yang mencatatnya. Para perawat itu tidak hanya harus membuat laporan yang baik, tapi mereka sendiri juga harus dilaporkan. Terutama kebaikannya itu.

Para perawat itu bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab kepada keselamatan pasien. Yakni, melakukan pekerjaan cepat, cermat dengan ketelitian yang tinggi di waktu malam yang sepi. Kalau saja tidak teliti pun siapa yang tahu? 

Mereka juga bekerja dengan penuh tanggung jawab kepada rumah sakit. Yakni, dengan cara tidak ceroboh mencatat harga-harga barang yang saya gunakan malam itu: obat, infus, selang, jarum, tisu, sarung tangan, plester, dan seterusnya. Setiap ada pemakaian bahan harus dicatat harganya dan dibuatkan invoice penagihannya. Kalau tidak, rumah sakit akan rugi. Pemakaian barang seharga 1 yuan (sekitar Rp 1.100) pun harus dicatat rapi dan dibuatkan perhitungannya. Jarum pun ada harganya, kapas secuil ada harganya. Apalagi selang, cairan infus, dan obat-obatan. 

Saya perlu memuji perawat tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih saya yang tulus kepada mereka. Saya tidak mungkin memberinya uang. Saya kan dalam keadaan telanjang! Mana bisa membawa dompet? Apalagi sudah menjadi kebiasaan saya, membawa dompet pun belum tentu ada duitnya. 

Saya perlu memujinya karena setelah hari itu saya tidak mungkin lagi bisa bertemu mereka. Hari ini mereka dapat giliran libur. Besok sudah akan menjalani kehidupan baru dengan pasien berikutnya lagi. Saya mungkin juga tidak berada lagi di ICU karena pagi itu sudah bisa kembali ke kamar saya di lantai 11. “Terima kasih Bapak telah memuji saya di depan pimpinan saya,” kata perawat itu. Wajahnya kelihatan bersorak gembira. Seperti mendapatkan uang berjuta. Saya tidak akan lupa wajahnya. Tidak akan lupa ekspresi kegembiraannya. Tidak akan lupa keterampilannya. Dan kerja kerasnya.

*** 

Tiba-tiba anak saya laki-laki, Azrul Ananda, masuk ICU. Kali ini bersama adiknya, Isna Fitriana, yang baru malam harinya tiba dari Surabaya. Hari itu rupanya saya akan diserahterimakan. 

“Bapak kan sudah aman. Dan Isna sudah di sini. Pagi ini saya kembali ke Surabaya,” ujar Azrul. “DBL harus segera dimulai,” tambahnya. DBL (DetEksi Basketball League) adalah liga basket SMP/SMA terbesar di Indonesia yang dia prakarsai. Saya mengangguk karena rasanya memang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Perasaan saya baik-baik saja. 

Rupanya, baru selama sakit ini saya punya komunikasi yang intensif dengan anak-anak saya. Sebelumnya, saya ternyata jarang sekali berbicara dengan mereka. Meski anak lelaki saya juga di Jawa Pos, saya membiarkan proses manajemen berjalan apa adanya. Saya hampir tidak pernah bicara soal perusahaan kepadanya. Keberadaan dia di Jawa Pos malah membuat hubungan saya sebagai bapak dan anak menjadi seperti hubungan atasan dan bawahan. Karena dia bukan bawahan langsung, berarti tidak perlu ada hubungan yang khusus.

Anak-anak saya memang sudah terpisah sejak mereka masih amat remaja. Begitu tamat SMP, keduanya langsung ke USA, masuk SMA di sana. Bahkan, Azrul sampai tujuh tahun di sana. Ikut orang tua angkatnya yang didapat melalui proses undian. Karena itu, kami tidak pernah tahu di rumah siapa dia akan tinggal di AS. Ternyata, Azrul dapat orang tua angkat yang sama sekali tidak diperkirakan. Yakni, seorang bapak yang ternyata juga pemilik surat kabar daerah di Kansas. Namanya John Mohn. Dia seorang master jurnalistik. Juga juragan koran. 

John tidak punya anak laki-laki. Maka, Azrul dia anggap sebagai anak laki-lakinya. Tiap hari dia ajak anak saya ke kantor korannya. Dia ajari fotografi. Dia ajari jurnalistik. Bukan hanya penulisannya, tapi juga kemerdekaan dan filsafatnya. Jadilah Azrul anak yang mencintai koran. Bukan karena saya, tapi karena bapak angkatnya itu.

Saya sendiri sejak awal tidak ingin dia kerja di koran. Terlalu berat. Terlalu menyiksa. Juga belum tentu menghasilkan kekayaan. Maka sejak tamat SMP saya kirim dia ke AS agar bisa punya pilihan lebih baik. Setidaknya agar bisa berbahasa Inggris. Tidak seperti bapaknya yang hanya tamatan SMA (aliyah), yang nama-nama hari dalam bahasa Inggris pun tidak hafal.

Jadi, kalau ada yang menganggap saya sejak awal menyiapkan anak saya untuk di Jawa Pos, sungguh tidak demikian maunya. Saya justru mau anak saya bekerja di luar negeri dulu. Lalu jadi pengusaha yang mandiri. Ketika hal ini saya kemukakan kepada Azrul, dia balik bertanya: saya harus cari uang? Saya mau jurnalistik, katanya. 

Apakah saya menyesal? Ya dan tidak. Tapi, ada juga yang menilai bahwa saya harus bersyukur karena ada anak yang masih punya idealisme di bidang jurnalistik. Menyikapi kedua penilaian itu saya pasrah saja. Yang terjadi, terjadilah.

Sepulang dari USA anak-anak saya praktis jadi dirinya sendiri-sendiri. Termasuk tidak mau lagi tinggal bersama kami di rumah. Mereka pilih tinggal di rumah sendiri. Mereka sudah terbiasa mandiri.

Baru ketika saya sakit ini, mereka sering menemani saya. Kami pun sering dalam keadaan lengkap berada dalam satu ruangan: saya, istri saya, dan anak-anak saya. Sekarang ditambah dengan menantu-menantu dan seorang cucu. Eh, seorang cucu dan calon seorang cucu lagi.

Justru ketika sakit ini saya seperti menemukan keluarga saya. “Ternyata saya punya anak,” gurau saya kepada keduanya. “Ternyata kita punya bapak, ya,” kata Isna kepada kakaknya. Sambil tertawa cekikikan. Suasana yang sangat mengurangi rasa sakit saya selama di ICU.

Lebih menggembirakan lagi, siang itu dua selang yang masuk ke rongga dada lewat leher kanan saya juga dicabut. Lubang bekas selang-selang itu lantas ditutup dengan plester. Dua hari kemudian lubang itu sudah menutup. 

Kelak, ketika sudah berada di kamar biasa, saya masih sering meraba-raba bekas lubang di leher itu. Saya masih punya pikiran jangan-jangan lubangnya masih menganga. (bersambung)

  1. Februari 20, 2014 pukul 9:30 am

    amazing! i take pleasure in reading this kind of stuff everytime i can get to the laptop

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar