Arsip

Posts Tagged ‘dahlah iskan transplantasi’

Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (32-Habis)

Maret 20, 2010 1 komentar

Rabu, 26 Sept 2007,

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.co.id
sms: 081 331 313 373

Kini Ada Simbol Mercy di Perut Saya (Sebuah Penutup)
ADA kesan yang mendalam bahwa sakit saya yang parah kemarin-kemarin itu karena saya kerja terlalu keras. Seorang ibu sampai menasihati anaknya begini: Jangan kerja terus seperti itu. Nanti seperti Pak Dahlan Iskan!

Setelah menerima SMS dari Saudara Socrates, teman di Batam yang lahir di Padang itu, saya jadi merasa bersalah. Ternyata, saya kurang pandai menjelaskan bahwa sakit saya ini bukan karena kerja keras, tapi karena saya terkena virus hepatitis B. Memang, setelah virus itu berkembang menjadi sirosis dan kemudian kanker, sebaiknya tidak kerja keras lagi. Tapi, itu bukan berarti akan menyembuhkan sakitnya, melainkan memperlambat saja perkembangannya.

Tentu memperlambat juga amat baik. Hanya, saya tidak memilih itu karena saya punya filsafat sendiri dalam menyikapi umur manusia. Saya memilih berumur pendek tapi bermanfaat, daripada umur panjang tapi tidak bisa berbuat banyak. Jalan pikiran saya itu biasanya saya ungkapkan ke teman-teman dengan istilah: intensifikasi umur.

Tentu kalau masih ada pilihan lain, saya akan memilih yang terbaik. Misalnya, ya berumur panjang, ya bermanfaat.

Tentu, saya akan merasa sangat berdosa kalau gara-gara tulisan saya ini banyak orang takut bekerja keras. Bangsa ini memerlukan puluhan juta orang yang gigih.

Kalau saya akan dijadikan contoh jelek, jangan dikaitkan dengan kerja keras, melainkan kaitkan saja dengan kecerobohan. Misalnya, jangan sampai terkena virus hepatitis seperti Pak Dahlan Iskan!

***

Kesan yang lain dari serial tulisan saya ini adalah bahwa rumah sakit-rumah sakit di Tiongkok hebat. Sampai-sampai beberapa dokter menghubungi saya bagaimana kalau mereka studi banding ke Tiongkok untuk belajar manajemennya.

Kepada para dokter itu, saya bilang bahwa ide tersebut kurang tepat. Belajar manajemen dan pelayanan rumah sakit jangan ke Tiongkok. Manajemen dan pelayanan rumah sakit-rumah sakit kita, secara umum, lebih baik. Terutama yang swasta. Memang, belakangan ini semakin banyak rumah sakit di Tiongkok yang lebih modern, tapi masih belum mencapai tingkat kecanggihan seperti di Singapura, bahkan di Malaysia sekalipun. Masih perlu satu kurun lagi untuk mencapai tahap itu. Ini karena, meski secara fisik dan peralatan sudah amat modern, carry over problems masih terbawa. Kebiasaan lama orang-orangnya tidak bisa begitu saja berubah.

Saya sendiri sering berdebat dengan petugas kebersihan toilet di Graha Pena Jawa Pos Surabaya mengenai pertanyaan ini: sudah bersihkah toilet ini? Saya menilai belum. Tapi, petugas menilai “sudah amat bersih”. Saya bisa memahami itu karena toilet ini mungkin sudah lebih bersih daripada kamar tidur di rumahnya sekalipun.

Saya tidak bisa marah karena tahu berapa gajinya dan bagaimana latar belakang ekonominya. Biasanya, saya hanya memberikan contoh dengan cara mengelap sendiri bagian-bagian yang kurang bersih itu di depan dia. Lama-lama standar kebersihannya berubah. Tapi, memang perlu waktu dan kesabaran.

Kalau toh mau belajar ke Tiongkok adalah mengenai keseriusan riset dan semangat untuk majunya. Karena mereka sangat unggul di situ, saya yakin tidak lama lagi rumah sakit di Tiongkok akan mencapai tahap seperti Singapura, lebih cepat daripada waktu yang kita perlukan.

Kecepatan itu akan fantastis kalau saja Tiongkok mengizinkan berdirinya rumah sakit swasta. Sampai sekarang, semua rumah sakit masih milik pemerintah. Rumah sakit juga menjadi sentral semua urusan kesehatan karena tidak boleh ada dokter praktik di sana. Semua dokter fokus bekerja di rumah sakit.

***

Berapakah biaya yang saya keluarkan untuk mereparasi organ-organ saya itu? Kalau di penutup tulisan ini saya memberikan isyarat jumlahnya, itu sudah meliputi semua pengeluaran. Biaya operasinya sendiri tidak besar untuk ukuran saya. Mungkin seharga rumah tipe 100 di lokasi yang sedang.

Seandainya saya hanya punya rumah seperti itu pun, saya akan jual kalau harus melakukan transplantasi ini. Itu juga yang dilakukan bapak saya ketika ibu sakit: Menjual apa pun, termasuk alat-alat tukang kayunya, dan satu-satunya. Kalau waktu itu tidak menjual rumah, itu karena tidak akan ada orang yang mau membeli rumah lantai tanah di pelosok desa.

Dari seluruh pengeluaran, yang terbanyak adalah untuk pendukungnya. Misalnya, transportasi lokal, akomodasi, dan konsumsi saya sekeluarga, wira-wiri saya sekeluarga dari Indonesia ke Tiongkok, dan sebagainya. Biaya itu juga sudah termasuk pengobatan sejak terjadinya muntah darah pada 2005.

Jadi, biaya terbesar sebenarnya bisa ditekan sesuai dengan kemampuan. Misalnya, membatasi keluarga yang harus wira-wiri. Di Tiongkok juga jangan tinggal di hotel, tapi cari apartemen murah saja. Itu pun sewa saja. Misalnya, sewa enam bulan (tidak bisa sewa kurang dari enam bulan).

Transportasi yang bagaimana juga memengaruhi besarnya biaya. Naik kendaraan umum? Taksi? Beli mobil sendiri? (Kebetulan saya beli mobil kelas Toyota Corolla dan itu berarti juga harus punya sopir). Makan dengan masak sendiri atau setiap makan ke restoran? Dan banyak lagi. Satu orang dan yang lain tidak akan sama. Kalau semua biaya itu ditotal, untuk kasus saya ini, biaya operasinya sendiri tidak sampai 20 persennya.

***

Semua itu tidak ada artinya dibanding nilai kesehatan yang saya peroleh. Tapi, juga sekaligus menyadarkan betapa mahalnya sehat itu. Imunisasi yang sekali suntik Rp 70.000 memang mahal. Tapi, apa artinya dibanding yang harus saya keluarkan ini?

Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda mati-matian bekerja sampai mengorbankan kesehatan untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu untuk membeli kembali kesehatannya -dan banyak yang gagal.

Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata untuk mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya kerja keras itu. Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya mengurus sepak bola itu.

Juga banyak sekali orang kerja keras yang karena didorong niat mulia -dan kekayaan hanya datang membuntutinya.

***

Kini saya tidak hanya hidup baru dengan liver baru, tapi juga dengan tanda baru di kulit perut saya. Yakni, tanda mirip simbol mobil Mercy (Mercedes Benz), bekas sayatan dari tiga arah yang menyatu di tengah. Boleh juga dibilang sayatan dari satu titik di tengah ke tiga arah. Tapi, simbol Mercy di kulit perut saya itu tidak sempurna. Seperti simbol Mercy yang digambar oleh anak berumur tiga tahun. Jelek tapi tetap terlihat Mercy-nya. Jelek wujudnya, tetap mahal citranya.

Kini saya punya dua Mercy. Yang satu, yang di rumah, adalah Mercy seri 500 keluaran 2005 yang dibeli dengan harga sekitar Rp 3 miliar. Satunya lagi “Mercy” di kulit perut saya. Jelek, tidak tahu seri berapa, tapi kira-kira sama harganya. (TAMAT)

Pengalaman Dahlan Iskan Menjalani Transplantasi Liver (31)

Maret 20, 2010 3 komentar

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313 373

UMUR berapakah saya sekarang?
Tepatnya saya tidak tahu. Apalagi setelah melakukan transplantasi liver ini.

Kakak sulung saya memang pernah mencatat tanggal kelahiran saya. Yakni di balik pintu lemari kayu yang kasar. Ditulis dengan kapur lunak, diambilkan dari kapur yang biasa dipakai nenek untuk makan sirih. Itu bukan lemari pakaian karena kami tidak perlu lemari untuk pakaian. Baju kami, sekeluarga, tidak lebih dari sepuluh. Cukup disangkut-sangkutkan di paku yang menancap di dinding. Juga karena kami tidak bisa beli lemari. Lemari yang ada itu bikinan bapak sendiri untuk menyimpan apa saja: kaleng bekas, piring seng untuk makan, cobek (mangkuk terbuat dari tanah), dan leper (tempat mengulek sambal, terbuat dari tanah), dan sebangsanya. Makanan juga disimpan di situ -kalau kebetulan ada.

Itulah satu-satunya perabot rumah tangga bapak saya. Tidak ada kursi atau meja makan. Kami makan sambil duduk di lantai. Lantai itu terbuat dari tanah karena tidak mampu menyemennya. Kalau mau makan, barulah dihamparkan tikar. Posisi duduk anak kecil seperti saya sangat minggir -kadang hanya dapat separo pantat saja yang di atas tikar. Di atas tikar itu juga kami tidur. Paginya, ketika tikar dilipat, sering ada gambar pulau di lantai tanahnya: ngompol. Jangan gusar. Bau kencing itu akan hilang dengan sendirinya kalau tanahnya sudah kering lagi. Inilah keunggulan yang tak tertandingi dari lantai tanah: Bisa menyerap ompol sebanyak-banyaknya! Dia seperti popok abadi! Tidak perlu dibuang yang sampahnya bisa merusak lingkungan. Dari segi ini, lantai tanah sangat ramah lingkungan -setidaknya hidung kami sudah biasa tidak menghiraukannya. Kalau musim hujan, gambar pulaunya lebih banyak dan lebih lama hilangnya.

Sejak masih ngompol, saya sudah harus bisa menyapu lantai. Tiap pagi, itulah tugas pertama masa kecil saya: menyapu lantai. Karena lantai itu akan menimbulkan debu, sebelum disapu harus dikepyur-kepyur dulu dengan air. Saya sangat ahli me-ngepyur-kan air ke lantai ini. Juga menyenanginya -terutama saya punya kesempatan untuk me-ngepyur-kan air lebih banyak di dekat pulau ompol untuk mengamuflasekannya. Meski akan menghabiskan air lebih banyak, tapi bisa mengurangi rasa malu.

Setelah ibu sakit (seperti sakit saya ini), apa pun dijual. Sawah warisan yang hanya secuil, alat-alat tukang bapak yang bisa dirombengkan, dan juga lemari satu-satunya itu. Maka, pergilah lemari dari rumah kami -dan hilanglah catatan tanggal lahir saya.

Di desa, orang memang tidak peduli dengan tanggal lahir. Yang selalu diingat hanya hari dan pasarannya. Karena itu, bapak ingat saya lahir Selasa Legi. Tapi, Selasa Legi yang tanggal berapa, bulan berapa, tidak ingat. Untuk apa diingat? Untuk ulang tahun? Emangnya perlu ulang tahun? Bahwa orang itu ternyata bisa diulangtahuni belum pernah saya dengar sampai saya masuk SMA. Yang biasa diulangtahuni adalah orang mati. Pakai selamatan dan tahlilan. Kami hafal semua kapan meninggalnya siapa. Tanggal itu penting bagi anak-anak miskin karena berarti akan ada selamatan.

Kalau toh ada orang yang selamatan kecil dikaitkan dengan hari kelahirannya, itu dilakukan setiap 35 hari sekali. Misalnya, setiap Selasa Legi. Tapi, keluarga kami tidak mengenal itu karena kurang kejawen. Kami keluarga santri. Ibadahnya pakai aliran NU ahli sunnah wal jamaah: tarwihnya 21 rakaat (sampai sekarang), salatnya pakai doa kunut, wiridannya pakai tahlil, nyekar ke kuburan, salat id tidak mau di lapangan. Namun, kami juga ikut Kejawen: Bersih desa, wayangan Murwad Kolo. Anehnya, aliran tarikat kami Syatariyah, bukan Naqsyabandiyah. Kalau bulan Syura, kami selamatan Rebo Wekasan, yang aslinya milik aliran Syiah. Pada selamatan ini, kiai kami menaruh gentong (tempat air yang besar terbuat dari tanah) dengan air yang penuh. Ke dalamnya dimasukkan rajah -kertas yang ditulisi huruf Arab yang ruwet, entah apa bunyinya. Setelah kenduri, kami antre minum airnya. Dengan ciduk yang sama: tidak terpikirkan itu sebagai sarana yang efektif untuk menularkan virus hepatitis. Itulah peringatan meninggalnya Sayidina Hasan dan Husein, putra Sayidina Ali dan Sayidah Fatimah, yang berarti cucu Rasulullah.

Lebih aneh lagi, aliran politik keluarga kami adalah ini: Masyumi. Bahkan, saya ingat, gambar pertama yang bisa saya buat ketika kecil adalah lambang partai itu: Bulan bintang. Dan ketika terjadi Gestapu/PKI di tahun 1965, sepupu-sepupu saya yang sudah dewasa semua jadi anggota Banser.

Suatu saat saya dicap sebagai Muhammadiyah. “Lihat dia dari keluarga Masyumi,” kata seorang tokoh. Di lain kali saya tidak diterima di kalangan Muhammadiyah. “Dia tahlil,” kata yang lain. Saya sendiri tidak peduli, saya ini orang apa. Semoga di langit sana tidak ada pengelompokan seperti itu. Lagi pula, kini, suasana juga sudah tidak seperti itu lagi. Perbedaan dua golongan itu sudah kian cair.

Asal-usul keluarga kami adalah pelarian dari Jogja. Yakni setelah Pangeran Diponegoro kalah karena ditipu oleh Belanda. Para panglima perangnya melarikan diri, antara lain ke timur, ke Banjarsari di selatan Ponorogo. Lalu beranak-pinak dan ada yang membuka hutan di timur Gunung Lawu untuk dijadikan kampung: Takeran. Sekaligus jadi pusat Pesantren Sabilil Muttaqin.

Karena saya dari jalur wanita, ibu saya tidak tinggal di pusat keluarga itu. Ibu harus ikut bapak saya. Bapak saya adalah abdi di pusat keluarga itu, tapi kemudian kawin dengan ibu saya. Jadilah bapak-ibu saya tinggal di desa, 6 km dari pusat keluarga itu. Jadi keluarga tani, kemudian jatuh ke buruh tani.

Sampai tamat SMA, saya belum peduli dengan tanggal lahir dan karena itu juga tidak pernah bertanya ke bapak. Hidup di desa, waktu itu, tidak ada administrasi yang memerlukan tanggal lahir. Ketika sudah amat dewasa dan saya bertanya kepada bapak mengenai kapan saya dilahirkan, jawabnya tegas: Selasa Legi. Tapi, bukankah setiap 35 hari ada Selasa Legi? “Waktu itu,” kata bapak saya sambil berpikir keras, “ada hujan abu yang sangat hebat.” Maksudnya ketika Gunung Kelud meletus. Begitu hebatnya sampai desa saya yang jaraknya lebih 100 km dari gunung di Blitar itu dalam keadaan gelap selama sepekan.

Tentu, saya malas melakukan riset kapan saja Gunung Kelud meletus. Bagi saya, tidak tahu tanggal lahir tidak penting-penting amat. Saya putuskan sendiri saja: Saya lahir tanggal 17 Agustus 1951. Itulah tanggal lahir yang secara resmi saya pakai di dokumen apa pun sampai sekarang. Tanpa dukungan surat kenal lahir. Tapi sudah diakui di banyak negara. Buktinya, saya tidak dianggap memalsukannya.

Bukankah bisa ditelusuri kapan Gunung Kelud meletus? Soalnya bukan hanya itu. Bapak saya kemudian menyebut, ketika Gunung Kelud meletus, saya sudah mulai bisa merangkak!

Kini, setelah ganti liver, kian tidak jelas lagi saya ini berumur berapa. Badan saya berumur 56 tahun, tapi hati saya belum lagi berumur 25 tahun. Apakah harus dijumlah lalu dibagi dua? Atau masing-masing diberi bobot dan nilai? Lalu, bobot dan nilai dikalikan seperti ajaran ilmu manajemen problem-solving yang sangat memengaruhi saya kalau ambil keputusan?

Untuk apa juga saya pikirkan. Tiwas nanti merasa ge-er karena hitungannya jatuh bahwa saya baru berumur 38 tahun atau 45 tahun. Untunglah, saya belum pernah merayakan ulang tahun sehingga tidak kian ruwet memikirkannya. Ulang tahun saya adalah Selasa Legi. Titik.

Yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana hati baru itu bisa kerasan menjadi “keluarga besar Dahlan Iskan”. Dan, rasanya bisa. Sampai 1,5 bulan setelah ganti hati ini, kondisi saya terus saja membaik. Semua parameter darah normal. Yang juga menggembirakan saya adalah: sekarang saya bisa berkeringat.

Sudah tiga tahun saya tidak pernah berkeringat. Habis jalan jauh pun tidak berkeringat. Kini, begitu habis makan, langsung berkeringat. Juga setelah sedikit senam atau joging. Saya memang harus banyak senam, terutama yang bisa membuat dada saya mekar lagi. Mengapa? Selama ini rongga dada saya ternyata dalam proses mengecil. Ini karena liver lama saya juga mengecil. Jadi tulang-tulang iga ikut bergerak ke dalam, berusaha menyesuaikan dengan ruang yang dilindunginya. Antara hati dan tulang iga, secara alamiah, memang tidak boleh ada ruang kosong. Ketika hati mengecil, tulang iga menyesuaikannya.

Saya sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui itu. Tahunya ketika anak wanita saya bertanya kepada dokter: apa saja kesulitan dokter dalam melakukan transplantasi liver malam itu? Dokter mengatakan, “Hampir tidak ada kesulitan apa pun”. Kecuali satu: Rongga dada saya sudah mengecil. Akibatnya, ketika dokter mau “memasang” liver baru di ruang yang ditinggalkan liver lama, ruangnya agak terasa kesempitan. Sehingga menaruhnya jadi agak sulit. Sesak. Liver baru masih dalam ukuran normal, bukan? Itulah sebabnya saya memperbanyak senam agar liver baru saya bisa “bernafas” dengan lebih lega dan itu berarti membuatnya semakin kerasan tinggal di dalam badan saya. (bersambung)

Sumber: Jawa Pos dotcom (www. jawapos. co.id)

Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (30)

Maret 19, 2010 1 komentar

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313 373

MENGAPA operasi transplantasi liver saya berhasil? Setidaknya sampai hari ini? Faktor apa saja yang memengaruhinya?

Jawabnya dua macam: mau yang pendek atau yang panjang. Mau yang religius atau yang ilmiah. Kalau mau pendek dan tampak religius, jawabnya ini: semua itu berkat tangan Tuhan. Selesai. Tidak perlu lagi tambahan apa-apa. Siapa yang bisa membantahnya? Siapa yang berani mempersoalkannya? SMS yang masuk ke saya pun hampir semuanya bernada begitu. Mereka mengatakan semua ini karena Allah. Hanya satu-dua yang mengatakan, “Semua ini karena Allah dan kepintaran para dokternya.”

Tapi, kalau jawabnya itu, saya tidak perlu lagi menulis. Tapi, saya ingin menulis. Terutama ingin menulis sesuatu agar para dokter tidak kehilangan semangat karena tidak dipuji sama sekali. Saya ingin memujinya.

Saya tidak ingin para dokter menjadi ngambek seperti humor ngambek-nya seorang istri yang sudah terkenal itu: Suatu saat sebuah keluarga ingin mengundang makan malam seorang suci. Sang istri sehari penuh sibuk menyiapkan makanan yang lezat-lezat. Waktu mau makan, sang suami meminta sang suci membacakan doa. “Terima kasih, Tuhan, Engkau telah menyediakan makanan yang lezat-lezat ini.” Ucap sang suci mengakhiri doanya. Selama makan sang istri merengut saja. Setelah sang suci pulang, si istri menggugat suaminya: Tidakkah tadi kau laporkan kepada sang suci bahwa sayalah yang sehari penuh menyiapkan makanan ini?

Saya tidak ingin para dokter njegol seperti si istri itu.

Sudah tentu tidak hanya faktor keahlian dokter yang menjadi satu-satunya kunci sukses. Saya mencoba merincinya sebagai berikut:
1. Keahlian dan pengalaman dokternya.
2. Kecanggihan peralatannya.
3. Kemajuan obat-obatannya.
4. Kemampuan manajemen rumah sakit dan tim operasinya.
5. Keberadaan donor yang sangat prima.
6. Kondisi badan saya yang masih baik.
Faktor mana yang terpenting, rasanya sulit menentukan. Tapi, kalau ada waktu membahasnya lebih dalam, pasti juga akan diketahui ranking-nya.

Soal keahlian dokter, di Indonesia pun tidak akan kalah. Saya pernah menerima keluhan dokter ahli bedah jantung seperti Prof Dr dr Paul Tahalele. Keahliannya pasti tidak kalah dengan dokter Singapura. Tapi, kesempatan untuk memperoleh pengalaman yang banyak sangatlah minim. Baik karena langkanya donor maupun minimnya peralatan. Bagaimana bisa punya pengalaman transplantasi liver 150 kali setahun kalau di negeri itu orang tidak bisa mendonorkan organnya?

Mengenai kecanggihan peralatan, rumah sakit ini tergolong yang terbaik di dunia. Bahkan, ada satu alat yang hanya empat di dunia: di AS, Korea, Jepang, dan di rumah sakit ini. Saya tidak diberi tahu alat yang mana. Tersedianya peralatan yang canggih ini sangat terkait dengan kemampuan dana dan keinginan pemimpinnya. Untuk Indonesia, dua-duanya belum bisa banyak dinanti. Begitulah nasib dokter kita meski itu juga dialami bidang yang lain.

Di bidang kemajuan obat-obatan harus diakui bahwa kemajuan penemuan obat baru bukan main cepatnya. Kalau saja kemajuan obat-obatan tidak seperti sekarang, mungkin juga banyak halangannya. Untuk kegagalan transplantasi liver karena rejection, sekarang jumlahnya hampir nol. Obat sinkronisasi liver baru dengan organ lain sudah amat sempurna.

Bahkan, obat antiinfeksi juga sudah membuat kegagalan karena infeksi amat minim. Kegagalan yang terbanyak kini karena tekanan darah tinggi dan gula darah. Sebab, obat-obatan yang harus dimakan setelah transplan menimbulkan efek samping di dua sektor itu. Kebetulan, saya tidak memiliki bakat darah tinggi maupun gula darah.

Kondisi pasien yang prima memegang peran penting karena banyaknya komplikasi juga akan menyulitkan. Salah satu pasien yang saya kenal kelihatan gembira sekali di hari pertama dan kedua setelah keluar dari ICU. Tapi mulai lemas di hari-hari berikutnya. Ini karena jantungnya memburuk.

Itulah sebabnya, saya membuat keputusan justru harus melakukan transplantasi ketika saya masih sehat. Maksud saya ketika organ-organ lain saya masih baik. Kalau saja terlambat mengambil keputusan, akan lain hasilnya.

Mendapatkan donor yang prima pun, antara lain, juga ditentukan oleh kondisi pasien. Misalnya, kalau saja saya tidak sabar menunggu. Mungkin akan mendapat juga donor, tapi kualitasnya belum tentu sebaik yang ada di dalam badan saya sekarang. Atau, kalau saya sabar, tapi kondisi badan saya sudah tidak bisa lagi menunggu lebih lama, tentunya donor seperti apa pun akan diterima. Toh semua donor sudah diperiksa kualitasnya. Bahwa ada kualitas I atau II, itu tentu ada kelas-kelasnya.

Kalau sejak sebelum operasi saya optimistis bahwa transplantasi ini akan berhasil, antara lain, saya sudah menghitung semua faktor di atas. Tentu, semua itu tidak saya informasikan kepada keluarga atau teman-teman. Hanya saya dan tim saya yang tahu.

Teman-teman, juga para pemegang saham, mungkin banyak yang pesimistis. Terutama kalau mereka melihat tanda-tanda fisik saya: mulai dari sudah muntah darah, sudah bengkak, dan wajah sudah menghitam. Mereka juga melihat tanda-tanda nonfisik yang saya lakukan. Misalnya, saya tiba-tiba mengundang teman-teman yang ketika bekerja di Jawa Pos dulu pernah saya marahi. Kadang saya sadari bahwa ternyata tidak seharusnya saya marah karena ternyata dia tidak salah. Tapi kalau sudah telanjur marah, masak bisa diralat? Yah, saya sering juga kemudian minta maaf, tapi saya yakin sudah telanjur melukai hati mereka.

Kepada mereka (baik yang sudah pensiun maupun yang belum), saya berikan uang. Ada yang cuma Rp 5 juta, ada yang sampai Rp 100 juta. Tergantung perasaan saya seberapa saya merasa bersalah. Rupanya, bagi-bagi uang ini terdengar juga oleh pensiunan karyawan yang lain. Lantas, dia menghubungi saya lewat SMS: saya menyesal mengapa dulu tidak pernah dimarahi. “Boleh nggak sekarang saja dimarahi. Asal kemudian ikut diundang,” katanya.

Saya juga sering mengadakan khataman Alquran yang diikuti para hafiz (orang yang hafal Quran). Mereka aktif berpindah-pindah di Surabaya dan tiga bulan sekali di rumah saya.

“Apakah Pak Dahlan sudah mau mati? Mau khusnul khotimah?” komentar seorang teman secara diam-diam tapi sampai juga ke telinga saya. Apalagi saya juga menyelenggarakan zikir-pidak dan ikut mendengungkan kalimat syahadat yang sudah di-compress menjadi kata pendek hu itu ribuan kali.

Para pemegang saham juga sangat khawatir ketika saya minta bertemu dan menyampaikan sesuatu yang amat sangat pentingnya. “Apakah yang Anda lakukan ini ada hubungannya dengan sakit Anda?” tanya seorang pemegang saham.

Sambil menunggu saatnya transplantasi pun, buku yang saya baca adalah buku kisah artis terkemuka Tiongkok yang meninggal muda setelah transplantasi liver. Sampai-sampai tim saya bilang, “Mbok jangan baca buku yang begituan.” Maksudnya jangan membaca yang seperti memberikan isyarat-isyarat bahwa saya akan gagal dan meninggal.

Mereka tidak tahu bahwa saya ingin belajar dari buku itu. Terutama: mengapa gagal? Apa yang tidak boleh saya tiru agar saya tidak gagal? Juga ada maksud saya yang lain lagi: belajar membaca huruf Mandarin.

Pelajaran penting yang saya peroleh dari buku itu adalah ini: jangan terlambat ambil keputusan transplantasi. Ini menambah kuat tekad saya untuk melakukan transplan ketika kondisi badan saya masih kuat.

Artis itu sudah amat terlambat melakukannya. Transplantasi pertama dilakukan di Beijing. Berhasil. Belum dua bulan sudah sibuk menghadiri berbagai acara, termasuk talk show dan jumpa fans di kota-kota yang jauh. Padahal, dia melakukan transplantasi dalam keadaan sudah amat terlambat. Kankernya sudah telanjur menyebar ke bagian tubuhnya yang lain.

Akhirnya, dia harus transplantasi lagi di kota ini. Juga berhasil. Tapi, kanker sudah lebih menyebar lagi. Akhirnya meninggal dunia.

Pelajaran lain yang saya dapat adalah: Jangan buru-buru merasa sehat dulu. Karena itu, sepulang dari Tiongkok nanti, saya akan mampir dulu di Singapura beberapa hari. Kebetulan, istri perdana menteri Singapura yang juga CEO Temasek Group, Madame Ho Ching, juga minta agar saya menjalani review di negaranya. Itu bisa dilakukan dalam rangkaian perjalanan saya pulang kelak. Singapura memang punya reputasi yang baik untuk perawatan pascaoperasi. Bahkan, untuk transplantasi “separo hati”, Singapura sudah amat berpengalaman. “Saya yang akan atur,” tulis Madame Ho Ching dalam email-nya kepada saya. (Bersambung)

Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (29)

Maret 19, 2010 20 komentar

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.com
SMS: 081 331 313 373

DI masa menanti waktu pulang ini, saya kehilangan dua teman wanita yang paling saya akrabi. Keduanya tinggal di lantai yang sama. Satu dari Jepang, satunya lagi dari Harbin, Tiongkok. Saya sering sekali mengunjungi kamar masing-masing dan ngobrol berlama-lama. Terutama kalau istri saya pergi belanja. Apalagi mereka senasib: juga hepatitis, sirosis, dan kanker hati. Kami biasa saling curhat.

Yang wanita Jepang amat modis. Bajunya bagus-bagus dan mahal-mahal. Rambutnya disasak tinggi. Sepatunya seperti Cinderella. Dia sendirian. Tidak satu pun keluarganya mendampingi. Dia juga tidak bisa berbahasa Mandarin sehingga hanya saya pasien yang bisa dia ajak ngobrol dalam bahasa Inggris.

Dua wanita itu juga amat mengesankan. Bicaranya, guraunya, dan intelektualnya bisa nyambung dengan saya. Dua-duanya juga amat cantik -terutama kalau penilaian ini saya berikan 35 tahun yang lalu, saat keduanya masih kira-kira berumur 30 tahun.

“Saya nanti tidak sesukses kamu,” kata wanita yang dari Jepang itu suatu saat kepada saya. Dia ngiri melihat badan saya yang sehat dan agak gemuk. Saya memang tidak menceritakan bahwa gemuk saya waktu itu karena bengkak. “Umur saya sudah 72 tahun,” tambahnya.

Wanita yang dari Harbin lebih mengeluh lagi. Bukan saja mengenai umurnya, tapi juga kondisi badannya. “Perut saya sudah berisi air,” katanya. Kalau saja dia masih muda, tentu orang akan mengira dia hamil. “Umur saya juga sudah 69 tahun,” tambahnya. Lebih dari itu dia juga mengidap sakit gula.

Saya memahami keadaannya. Saya tahu bahwa sakit gula akan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi sukses tidaknya transplantasi. Tapi, saya tidak menceritakan bagian ini padanya. Saya ceritakan kenyataan bahwa ada pasien lain yang juga punya sakit gula toh berhasil dengan baik juga.

Di lain waktu wanita Harbin tadi curhat yang lain lagi. “Saya nanti pulangnya mungkin paling belakangan,” katanya. “Kalian sudah pulang semua, saya akan masih di sini. Sendirian,” katanya. Saya menjawab: Saya juga tidak akan buru-buru pulang. Saya juga berjanji kepadanya untuk terus memberinya semangat. Saya cepat akrab dengan wanita Harbin ini, antara lain, karena saya pernah lama di sana: Belajar bahasa Mandarin dengan cara home stay. Juga sudah tak terhitung lagi berapa kali saya ke Harbin sesudah itu.

Benar saja, si Cinderella sangat berhasil operasinya. Pasti semakin modis dia nanti. Juga benar bahwa seminggu setelah operasi dia sudah menentukan tanggal pulang. “Dokter saya di Jepang yang minta saya segera pulang. Menjalani perawatan di sana,” katanya seperti minta pengertian. Tentu kami tetap menampakkan kegembiraan kami bahwa dia begitu sukses dengan transplantasinya.

Yang wanita Harbin juga sudah menjalani transplantasi. Juga sukses. “Perut saya yang mulai buncit dulu itu, sudah hilang,” katanya dengan meraba-raba perutnya. Benar, saya lihat perutnya “sudah hilang”. Meski memang lebih lambat mulai bisa turun dari tempat tidur, bicaranya sudah keras dan tegas. Juga sudah bisa tertawa, meski kalau tertawa lantas kian terlihat umurnya yang sebenarnya.

Saya sendiri akhirnya mendapat gelar ’yuan lao’ di rumah sakit ini. Penghuni lama. Pasien yang kerasan di rumah sakit. Tidak buru-buru pulang. Karena ’yuan lao’, saya sangat hafal pada perawat, pegawai, dan dokter di rumah sakit ini. Mereka juga hafal pada saya.

Meski begitu hafal, saya masih sering kecele kalau suatu saat disapa wanita yang sangat modis dan ceria di dalam lift atau di lobi. Terutama pada jam-jam pulang atau berangkat kerja. “Siapa ya wanita cantik ini,” sering saya bertanya dalam hati. Eh, baru sadar bahwa mereka adalah perawat atau pesuruh yang tadi melayani saya.

Rupanya mereka biasa ganti-ganti baju. Begitu selesai bertugas, para perawat itu ganti pakaian seperti model. Bajunya, tatanan rambutnya, cara membawa tasnya, sama sekali tidak menyangka kalau dia tadi yang pakai baju perawat dengan topi putih. Dia sering menyapa, tapi saya seperti tidak kenal lagi siapa dia.

Perawat di sini memang disediakan kamar mandi dan ganti baju. Setiap masuk kerja mereka mandi dulu dan baru ganti baju perawat. Demikian juga ketika pulang kerja. Ini agar kuman yang terbawa perawat saat berangkat kerja tidak terbawa ke pasien.

Yang seperti itu tidak hanya perawat. Pesuruh dan tukang pel lantai pun idem ditto. Sewaktu bertugas mengepel kamar saya, pakaiannya baju-kerja penyapu lantai. Sepatunya sepatu kungfu yang murahan. Tapi, begitu pulang, sungguh membelalakkan mata. Bajunya you can see, celananya hot pants (maklum, musim panas) dan rambutnya dimain-mainkan seperti artis Korea. Mereka sama sekali tidak punya rasa rendah diri meski pekerjaannya tukang pel lantai. Sebaliknya, meski berangkat kerja dengan amat modis, ketika kerja tidak ogah-ogahan.

Saya ingat direktur saya Zainal Muttaqien. Kami sering diskusi soal kemiskinan di Indonesia dan Tiongkok. Mengapa orang di Tiongkok yang juga banyak sekali yang lebih miskin dari orang miskin Indonesia, harga dirinya lebih baik. Bukan saja jarang lihat pengemis, juga kalau bertemu orang seperti tidak punya rasa rendah diri. Dan ini menjadi salah satu sumber kemajuan Tiongkok. Ini yang disebut social-capital -modal sosial. Bank Dunia menyebutkan social-capital ini menjadi faktor penting kemajuan Tiongkok di samping modal finansial.

Muncullah istilah dari Zainal yang akan selalu saya ingat dan yang akan kami perjuangkan sebagai inti dimulainya pembangunan harga diri ini. Yakni, satu moto: “Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat”. Saya dan Zainal, dan banyak lagi yang lain, akan bisa jadi model perjuangan itu. Bagaimana ketika miskin dulu tidak jatuh sampai menjual harga diri dan jabatan. Dan, ketika sudah kaya (duille!) tidak sewenang-wenang.

Saya ingat, meski waktu itu sudah menyandang gelar wartawan majalah TEMPO yang begitu ternama, saya belum punya sepeda, apalagi sepeda motor. Rumah pun masih menyewa di satu gang sempit di belakang pasar Kertajaya, Surabaya. Rumah separo tembok separo kayu. Yang kamar mandinya dipakai bersama beberapa rumah tangga. Yang airnya dari sumur yang harus ditimba sendiri. Yang kasur tipisnya harus dihampar di lantai.

Waktu harus wawancara ke daerah industri di Tandes Margomulyo, saya hanya punya uang Rp 75 di saku. Hanya cukup untuk naik bemo berangkatnya. Dari Kertajaya ke Jembatan Merah Rp 25, lalu dari Jembatan Merah ke Tandes Rp 50. Selesai wawancara, saya diberi amplop. Saya tahu isinya pasti uang. Saya menolaknya meski di saku tidak ada lagi uang sepeser pun. Meski Tandes-Kertajaya begitu jauhnya. Saya pulang dengan jalan kaki. Hampir dua jam. Karena beberapa kali harus berhenti untuk menghindar dari panasnya Surabaya.

Waktu harus pulang ke Kaltim, tentu banyak orang yang akan memberi saya tiket. Tapi, saya pilih naik kapal kayu ke Banjarmasin dulu, agar murah. Lalu naik kendaraan umum berupa jip terbuka yang penuh sesak dengan penumpang. Belum ada bus waktu itu. Saya khawatir dengan istri saya. Maka, saya bilang kepada sopir agar boleh naik di kursi dekat sopir. “Istri saya hamil muda,” kata saya.

“Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat” akan membuat bangsa ini tidak gampang jatuh ke derajat bangsa-pengemis. Atau, bangsa yang kalau melihat orang kaya yang muncul kecemburuannya. Bangsa yang mudah disogok dan dipermainkan. Yang juga mudah dibayar untuk, misalnya, sekadar berdemo.

Dari penampilan para perawat dan tukang pel di rumah sakit ini, saya belajar bagaimana menjalani pekerjaan rendahan dengan jiwa yang kuat. Saya kepingin sekali meniru ini di Graha Pena. Petugas cleaning service tidak harus merasa rendah diri. Saya sudah minta manajemen Graha Pena untuk menghitung konsekuensi biayanya. Kalau upaya meniru ini berhasil, penampilan Graha Pena juga akan lebih “keren”. Dan harga diri pegawai yang di situ sama tingginya.

Lalu muncul ide gila yang tidak masuk akal. Untuk membuat kota-kota di Indonesia cantik, para wanita yang lalu lalang di kota itu harus juga terlihat cantik. Betapapun bersihnya sebuah kota, kalau yang lalu-lalang di dalamnya kumuh-kumuh, nggak menarik jadinya. Maka, pemda yang menginginkan kotanya cantik dan menarik harus memberikan penduduknya yang wanita barang-barang ini secara gratis: Baju, lipstik, eye shadow, sepatu, dan biaya ke salon.

Ide itu tentu tidak mungkin dilakukan. Kalaupun dilakukan, belum tentu lipstiknya digunakan. Bisa-bisa dijual. Sebab, filsafat “Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat” belum menjadi budaya.

Tentu semua biaya seperti itu, kalau di rumah sakit ini, ditanggung sendiri. Tapi, di Graha Pena kami akan mencoba memberikannya secara cuma-cuma kepada pegawai bagian cleaning service-nya. Tentu tidak harus sampai pada hot pants, tapi berjilbab pun akan dicarikan jilbab yang modis.

Salah satu kesimpulan saya, membangun kepercayaan diri begitu pentingnya. Jarang saya lihat orang Tiongkok yang merasa rendah diri. Mereka bisa membedakan ’rendah diri’ dan ’rendah hati’. Sedangkan kita, kalau tidak mau dibilang kurang ajar, sering terbelit filsafat ’unggah-ungguh’, ’sopan-santun’, ’tawaduk’, yang sebenarnya tetap bisa kita lakukan tanpa harus jatuh ke derajat ’rendah diri’.

Kembali ke dua wanita tadi (eh, kok ingat dia lagi sih?), ternyata ada baiknya juga dia pulang lebih dulu. Kalau tidak, tulisan ini tidak akan bisa selesai tepat waktunya. (Bersambung)

Pengalaman Dahlan Iskan menjalani Transplantasi Liver (26)

Maret 18, 2010 75 komentar

Kamis, 20 Sept 2007,

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313 373

Transplantasi Berhasil, Istri Gembira karena Wajah Berubah
KALAU saja foto liver lama saya dimuat di koran tanpa penjelasan (foto-foto itu akan dimuat di edisi buku), setidaknya akan muncul tiga versi tanggapan. Orang di desa saya akan langsung mengatakan, “Pasti ini karena disantet”. Begitu jugalah dulu penilaian terhadap ibu saya. Juga terhadap kakak saya.

Liver saya memang seperti daging yang dibakar setengah matang! Pasti ketika menyantet saya, si penyantet membeli hati sapi dulu. Lalu memanggangnya. Asapnya lantas di-email-kan ke dalam tubuh saya. Karena maraknya pandangan santet di masyarakat kita, maka yang maju lantas dunia mistik dan bukan rasionalitasnya.

Pandangan kedua akan datang dari kalangan agama yang berpandangan sempit. Yang suka marah-marah, termasuk di mimbar Jumat. Kalangan ini, kalau melihat hati seperti itu, akan langsung mengambil kesimpulan: Tuhan telah murka padanya. Bahkan, bisa-bisa mengerasnya liver saya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ’sadat qulbuha’ (sudah keras hatinya), agar mirip dengan ayat Quran yang sangat terkenal, “… fasadat qulubuhum”.

Kalangan ini sudah kritis lagi, karena emosi lebih besar daripada rasio. Bahkan, lupa bahwa kata dalam bahasa Arab ’qalb’ (kalbu) artinya bukan hati -dalam pengertian liver. Liver bahasa Arabnya ’kabid’. Lupa bahwa ’qalb’ itu artinya jantung. Ini memang agak kacau. Direktur Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi (Udi), orang yang paling jago bahasa Arabnya di lingkungan Group Jawa Pos, pernah saya Tanya arti ’qalb’. Ini karena saya juga ragu akan ingatan bahasa Arab saya. Begitu saya tanya, Udi spontan menjawab: qalb artinya hati!

Lantas saya tanya lagi. Mengapa kok lambang cinta itu gambar jantung? Mengapa dalam bahasa Inggris disebut heart? Dan, dalam bahasa Mandarin disebut xin? Rupanya dia baru berpikir ulang. Lalu bergegas meralat jawaban pertamanya. “Saya tadi salah. Memang qalb itu artinya jantung. Sedang liver adalah……” kata Udi yang juga sastrawan itu. Bayangkan, Udi yang demikian mahir bahasa Arab terbius oleh sesuatu yang salah, tapi sudah memasyarakat.

Memang, kita lupa mempersoalkan mengapa para ahli bahasa dulu menerjemahkan kata ’liver’ (bahasa Inggris) menjadi ’hati’ dalam bahasa Indonesia? Kini sudah sulit mengubah agar liver jangan lagi diterjemahkan menjadi ’hati’. Sudah telanjur begitu mendarah-mendaging. Kalau diubah, nanti bisa banyak sekali konsekuensinya. Misalnya kata ’patah hati’ harus diubah menjadi ’patah liver’. Atau ’patah jantung’ (broken heart).

Jadi, sebaiknya, urusan ilmiah memang jangan terlalu dikait-kaitkan dengan keyakinan keagamaan, apalagi ketakhayulan. Kalau toh dikaitkan, harus dalam rangka dzikir, bahwa Tuhan telah memberikan manusia otak yang luar biasa cerdasnya. Begitu hebat pemberian itu sehingga harus digunakan sebanyak-banyaknya. Padahal, orang yang paling pinter pun baru menggunakan sebagian saja otaknya. Kita-kita barangkali baru menggunakan lima persennya. Kita tidak boleh memubazirkan rezeki dari-Nya itu. Kalau sedikit-sedikit sudah harus lari ke doktrin, kita akan semakin terbiasa tidak menggunakan ciptaan-Nya itu.

Maka, kalau istri saya merasa sangat gembira akan keberhasilan transplantasi liver ini, antara lain karena wajah saya kini sudah sedikit berubah. Dia tidak perlu lagi menghadapi rasa malu karena suaminya meninggal dalam keadaan wajah menghitam.

Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua tahun menghitam, kini kembali … hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang aslinya. Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya sudah boleh dibilang kembali seperti hitamnya kereta api (duile!), meski hitam banyak yang antre. Imbuhan kata terakhir itu bukan asli ciptaan saya. Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil dalam kongres para pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka.

Kini kaki saya juga tidak bengkak lagi. Meski begitu, saya masih sering memijit-mijitnya. Setengahnya karena sudah menjadi kebiasaan selama dua tahun terakhir, setengahnya lagi untuk mengetes apakah dekok akibat pijatan itu bisa cepat kembali. Ternyata biarpun saya pijit kuat-kuat, bukan lagi dekoknya cepat kembali, bahkan tidak bisa dekok sama sekali. Dulu, setiap memijat kaki, selalu berharap ada mukjizat atau keajaiban. Tapi, setiap kali saya memijit kaki, setiap itu pula saya disadarkan bahwa keajaiban tidak berlaku di bidang yang amat scientific ini.

Kini saya kembali sering memijit kaki saya dengan sangkaan sebaliknya: jangan-jangan bengkak lagi. Saya juga tidak lagi membenci kaus kaki. Tapi, pada keadaan ’tidak membenci kaus kaki’ itu, justru saya tidak terlalu memerlukannya. Tanpa kaus kaki pun kini perut tidak merasa kembung.

Bagaimana dengan payudara saya? Tiap hari saya masih meraba-rabanya. Masih tetap besar, tapi sudah mulai mengencang. Dokter bilang, lama-lama juga akan kembali normal. Saya belum bisa memperkirakan apakah saya akan lebih senang dengan payudara saya yang asli. Atau justru sudah terbiasa nyaman dengan payudara seperti gadis yang menginjak remaja.

Limpa saya, yang meski sudah dipotong sepertiga, tapi masih dua kali lipat lebih besar dari limpa asli, lama-lama juga akan kembali normal. Demikian juga saluran pencernakan yang telanjur ’dilaminating’. Tidak perlu lagi dilaminating kedua atau ketiga.

Membaca SMS mengenai mulai pulihnya organ-orang di tubuh saya, seorang teman masih sempat menggoda saya dari Musi Banyuasin, Sumsel, sana: “Apakah bulunya yang dicukur juga sudah kembali normal?” tulisnya di SMS. “Untung, dulu tidak jadi minta dikembalikan. Bisa-bisa susternya marah dan mengembalikannya ke dekat payudara,” tambahnya.

Saya makin sembuh, suasana pengajian di rumah juga lebih ceria. Berbeda dengan saat para karyawan berkumpul untuk berdoa di rumah menjelang saya operasi. Saat itu suasananya murung. Minggu lalu diadakan acara pengajian dan hafalan Alquran sehari penuh hingga tarawih. Para hafidz (penghafal) Alquran di Surabaya memang aktif berkumpul sebulan sekali di tempat berpindah-pindah. Tiap tiga bulan sekali di rumah saya

Kini saya sudah bisa membuat perencanaan. Dulu, begitu tidak pastinya penyembuhan sakit saya, saya tidak berani bikin perencanaan yang agak panjang. Bahkan, tidak berani bikin janji kapan menerima tamu dan kapan harus rapat. Kecuali yang amat penting.

Perencanaan pertama yang muncul di pikiran saya adalah apa yang diucapkan Cak Nur. Yakni, ketika pemikir itu ditanya mengenai apa bagaimana berislam yang baik dan enak. “Bekerjalah yang sungguh-sungguh,” kata Cak Nur. Lalu mengisahkan keberhasilan Daud mengalahkan Jalut (Goliat). Di akhir ayat yang mengisahkan soal ini, tertulis “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, sebagai tanda syukur kepada-Ku”. Bersyukur dengan cara bekerja keras. Itulah juga yang akan saya tiru. Saya akan mensyukuri keberhasilan transplantasi liver saya dengan meneruskan kerja keras. Apalagi, seperti dikatakan Cak Nur, bekerja adalah tingkatan syukur yang tertinggi setelah mengucapkan alhamdulillah dan istighfar (minta ampun).

Saya sudah beberapa kali mengucapkan alhamdulillah. Juga sudah sering mengucapkan istighfar. Tinggal, begitu sembuh, kerja keras lagi. (Bersambung)

Pengalaman Dahlan Iskan Menjalani Transplantasi Liver (23)

Senin, 17 Sept 2007,

Oleh:
DAHLAN ISKAN
Email: iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313 373

Datang Tawaran Liver Hidup dari Orang Muda asal Bandung
SAYA hampir kehilangan momentum. Kedatangan saya untuk antre transplantasi liver ini agak terlambat, meski belum fatal. Sebulan setelah saya menunggu, keluar peraturan baru: tidak gampang lagi pasien asing mendapatkan donor. Tapi, mestinya, saya belum terkena peraturan itu karena saya sudah mendaftar sebelum itu.

Pasien asing banyak yang gelisah. Dulu-dulunya, waktu menunggu sering tidak sampai sebulan. Saya pun datang dengan harapan seperti itu. Apalagi di lengan saya sudah dipasangi saluran infus sampai ke dada, sebagai persiapan transplantasi yang sudah dekat. Tapi, ternyata terhalang aturan baru itu.

Saya memutuskan sabar menunggu. Tapi, setelah dua bulan tidak juga ada tanda-tanda akan mendapat donor, saya ingin pulang dulu dua hari. Kali ini untuk menyelesaikan urusan di Kalimantan Barat. Saya merasa punya tanggung jawab yang belum saya penuhi.

Sebagaimana juga di Kaltim, saya ingin ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar. Gubernurnya sudah sangat mendambakan turun tangan saya, mengingat krisis listrik di sana sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Krisis listrik di Kalbar lebih parah daripada di Kaltim. Maka saya bersama gubernur dan Dirut PLN menandatangani MoU pembangunan PLTU di Pontianak.

Untuk menunjukkan keseriusan, saya langsung membeli tanah 20 hektare di lokasi yang paling cocok untuk itu. Juga melakukan perundingan dan penandatangan kontrak mesin-mesin di Tiongkok. Namun, beberapa waktu kemudian ternyata PLN melakukan tender untuk pembangunan PLTU itu, tanpa sedikit pun memberi informasi kepada saya bagaimana nasib MoU yang sudah dibuat.

Kami tidak mau ikut tender itu karena merasa PLN tidak beretika sama sekali. Dan lagi, saya memang tidak dalam posisi mencari proyek. Saya hanya ingin ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar, sebagai awal dari membangun Kalbar lebih lanjut. Provinsi itu sangat kasihan. Tidak kaya sumber alam dan tidak punya proyek besar. Investor yang mau datang pasti mengeluhkan listrik.

Tender itu berjalan lancar dan itu memang proses yang benar. Tapi, pemenang tendernya, sampai tulisan ini dibuat, tidak ada tanda-tanda fisik mulai membangun PLTU. Berarti Kalbar kehilangan lagi waktu tiga tahun. Jelek sekali nasib Kalbar. Juga nasib (tanah) saya. Memang, suatu ketika, kira-kira dua tahun lalu, peserta tender ingin mengajak saya bergabung membangun PLTU tersebut. Tentu saya tidak mau kalau modal dia hanya selembar kertas izin. Dia juga menanyakan apakah tanah kami akan dijual. Tentu saja tidak. Kami bukan spekulan atau jual beli tanah. Kami serius membeli tanah tersebut untuk PLTU.

Memang bukan salah saya kalau sampai hari ini belum ada tanda-tanda konkret krisis listrik Kalbar akan teratasi. Tapi, setidaknya saya bertanggung jawab untuk mewujudkan sesuatu di sana. Terutama sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat setempat bahwa koran kami di sana menjadi yang terbesar.

Karena itu, saya bertekad menggunakan dana yang sudah saya siapkan untuk PLTU ke proyek lain: perkebunan rakyat. Yakni, mengolah hasil pertanian rakyat yang selama ini harganya selalu hancur-hancuran di musim panen. Proyek itu harus berjalan. Banyak pengungsi Madura akibat kerusuhan etnis pada 1999 itu yang mulai bekerja di proyek ini. Saya harus datang ke sana untuk membuat keputusan yang terpenting.

Saat saya menyelesaikan urukan Kalbar itulah, sebenarnya ada donor yang potensial. Dokter mencari-cari saya apakah bisa membatalkan kepergian saya ke Indonesia. Tapi, saya sudah di atas pesawat. Tapi, beruntung bahwa ternyata donor potensial itu ternyata juga tidak cocok untuk saya.

Saya harus menunggu lagi entah berapa lama. Orang-orang Pakistan mulai mencari jalan sendiri. Yakni, mendatangkan donor dari negaranya. Yakni, donor orang hidup. Mereka mencari salah satu keluarganya, atau sukarelawan, yang mau menyumbangkan separo livernya untuk dicangkokkan ke pasien. Ini mungkin karena liver adalah satu-satunya organ tubuh yang kalau dipotong bisa tumbuh utuh lagi.

Hanya operasinya lebih sulit: Orang yang sehat dibedah, lalu livernya dipotong separo. Pada saat yang sama, si calon penerima (resipien) liver juga dibedah untuk membuang (seluruh) livernya yang sudah rusak. Setelah itu, potongan liver yang sudah dilepas dari tubuh pemiliknya ditanamkan ke tubuh si penerima.

Seseorang bisa hidup normal dengan liver yang hanya separo karena liver atau hepar atau hati adalah satu-satunya organ yang bisa tumbuh kembali dengan cepat. Berbeda dengan ginjal dan organ lain. Karena itu, sekali orang kehilangan ginjal, ya sampai meninggal, ginjalnya tetap satu. Beda dengan donor liver. Hari ini separo livernya didonorkan, besok pagi sudah tumbuh lagi. Dan dalam tempo tiga minggu sampai maksimal sebulan, liver yang dipotong itu sudah akan utuh kembali.

Dengan begitu, seorang donor juga tak perlu tinggal berlama-lama di rumah sakit. Hanya dalam tempo dua tiga hari pascaoperasi, dia sudah boleh latihan berdiri dan berjalan. Seminggu berikutnya dia sudah bisa beraktivitas lagi. Tapi, memang masih harus ekstrahati-hati karena tiga sayatan panjang bekas operasi di perutnya masih basah.

Lantas bagaimana nasib potongan liver yang sudah berpindah tubuh tadi? Ini pun tak perlu dikhawatirkan karena dalam tempo maksimal tiga bulan, potongan itu sudah akan tumbuh menjadi liver yang utuh sebagaimana orang normal. Karena itu, di negara-negara yang jumlah donor mayat (cadaver)-nya terbatas, livernya dibagi dua. Jadi, satu liver untuk dua pasien. Di Tiongkok, umumnya masih satu liver untuk satu pasien. Termasuk saya.

Menjelang transplantasi, Robert menemui keluarga-keluarga Pakistan itu untuk mempelajari bagaimana praktik cangkok liver dengan donor hidup. Dia menjadi amat yakin itu juga akan berhasil. Lalu mengajak salah satu pendonor ke kamar saya.

“Dia mendonorkan livernya dua minggu yang lalu,” kata Robert sambil menepuk bahu anak muda Pakistan itu. “Sekarang sudah jalan-jalan dan mau saya ajak ke sini,” tambahnya.

Anak itu sendiri, yang bahasa Inggrisnya bagus sekali, lantas menceritakan mengapa mau melakukan itu, mengapa berani, dan bagaimana kondisinya sampai saat itu. “Liver saya yang setelah dipotong tinggal 9 cm, sekarang sudah menjadi 16 cm lagi. Dua minggu lagi sudah kembali utuh seperti semula,” katanya. Lalu dia menunjukkan perutnya yang masih dibebat untuk mengeringkan luka akibat pembedahan.

Bagaimana dengan penerima livernya? “Bapak itu juga mulai baik. Liver saya yang di sana, yang semula hanya 11 cm, hari ini sudah 17 cm,” katanya sambil menggambar di papan tulis tentang bagaimana livernya tumbuh kembali, baik yang masih di dalam tubuhnya maupun yang sudah pindah ke tubuh orang lain.

Saya amat yakin dengan jalan itu. Saya juga memutuskan akan melakukannya. Saya tidak yakin bisa dapat donor utuh dalam waktu dekat. Saya harus berhitung dengan sirosis dan kanker saya yang sedang berlomba dengan waktu. Kalau saya menunggu terlalu lama, bisa jadi fungsi liver saya akan keburu memburuk. Dan, karena penurunan fungsi itu bisa merusak pertahanan tubuh saya, sel-sel kanker yang mungkin masih tersisa di liver saya bisa menyebar (metastase) ke mana-mana. Saya butuh melangkah cepat.

Mulailah saya melihat ke istri, anak-anak, dan keponakan-keponakan. Ternyata, tidak satu pun yang darah dan rhesus-nya sama dengan saya. Beberapa teman dekat yang siap mendonorkan separo livernya juga tidak ada yang cocok darahnya. Tapi, jalan tidak buntu. Tanpa kami cari, seseorang dari Jakarta menghubungi kami. Memberitahukan perihal seorang anak muda dari Bandung yang mau secara sukarela mendonorkan livernya. Darah maupun rhesus-nya cocok sekali dengan saya. Umurnya masih 32 tahun. Badannya yang tinggi tegap sangat sehat.

Anak muda itu mengatakan tidak menginginkan apa pun kecuali menyelamatkan nyawa saya. Apakah harus dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri? Dia bilang, dia sudah menghitung risikonya. Mengapa dia begitu berani? Karena, dia bilang, dia ingin menebus penyesalannya yang tak sempat menyelamatkan bapaknya yang keburu meninggal sebelum tranplantasi dilakukan.

Tim kami segera ke Bandung melihat keadaan rumah tangganya. Semula kami memperkirakan harus membantu kehidupannya. Ternyata, dia cukup berada. Rumahnya baru, tidak kecil, di kompleks perumahan yang cukup mewah. Mobilnya juga masih gres dari merek yang tidak murah. Handphone-nya pun Communicator seri terbaru. Anak keduanya baru bisa berjalan. Sikap istrinya, di luar dugaan: Sangat mendukung keputusan suaminya.

Kami pun makin percaya bahwa tidak ada motif komersial di balik niatnya yang mulia itu. Tapi, saya sendiri juga masih berpikir, haruskah sampai mengorbankan nyawa orang lain? Tidakkah lebih baik saya menunggu dengan risiko tidak keburu sekali pun? Bukankah membuat keputusan melakukan transplantasi saja sudah tersirat tekad untuk mungkin mati?

Saya benar-benar sudah siap kalau harus mati. Saya punya filsafat tersendiri dalam menyikapi umur. Yakni, filsafat “intensifikasi umur”. Umur pendek tidak apa-apa asal penggunaannya sangat intensif. Sikap ini muncul, barangkali karena saya melihat kok ibu saya, kakak saya, paman-paman saya berumur pendek. Saya kurang melihat bahwa bapak saya dan kakak sulung saya berumur panjang sekali.

Tim kami terus mendesak agar saya jangan berpikir bahwa saya akan mengorbankan orang lain. Terutama Robert Lai. “Dia tidak akan jadi korban. Dia juga akan memiliki kembali livernya secara utuh,” kata Robert. Saya masih keberatan, tapi diam-diam tim kami terus menyiapkan saudara dari Bandung itu untuk siap berangkat ke Tiongkok. Dia juga menyatakan sudah siap kapan pun harus berangkat.

Bersamaan dengan persiapan pemberangkatan saudara dari Bandung itulah, ada kabar bahwa saya mendapatkan donor. Transplantasi pun dilakukan dengan cara membuang sama sekali hati saya yang lama dan menggantinya dengan hati baru made in 1985-an secara utuh. (Bersambung)

Pengalaman Dahlan Iskan Menjalani Transplantasi Liver (22)

Maret 15, 2010 5 komentar

Minggu, 16 Sept 2007,

Oleh :
DAHLAN ISKAN
Email: iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313 373

Ingin Naikkan Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
SETELAH hati mantap melakukan transplantasi, barulah saya menentukan langkah. Ada tiga yang harus dipertimbangkan. Kehebatan dokter, kesediaan donor, dan ketepatan rumah sakitnya. Dari situ baru kami tentukan tempatnya. Tiga faktor itu saya sebut sebagai “persyaratan mutlak”. Lalu masih ada sejumlah “persyaratan keinginan”. Misalnya, kedekatan dengan Indonesia, kedekatan budaya, dan kedekatan bahasa.

Saya sudah terbiasa, dalam setiap akan mengambil keputusan, menjalankan satu proses yang disebut problem solving. Satu proses untuk melakukan pembobotan dan penilaian atas semua pilihan. Lalu mengalikan bobot dan nilai. Hasil perkalian tertinggi, itulah pilihan terbaik. Saya pernah disekolahkan untuk itu di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) ketika saya masih jadi wartawan majalah berita mingguan TEMPO.

Proses manajemen itu kemudian saya bawa juga ke dalam jurnalistik. Saya ajarkan sebagai doktrin di Jawa Pos. Itulah yang membedakan wartawan Jawa Pos dengan wartawan lain. Wartawan Jawa Pos harus menjalankan ’10 rukun iman’ atau ’Ten Commandments” yang saya tentukan. Itulah salah satu sumbangan ilmu manajemen ke dalam praktik jurnalistik di Jawa Pos. Tentu hal ini tidak diajarkan di fakultas publisistik atau di akademi wartawan. Mungkin tidak akan diakui sebagai salah satu teori jurnalistik, tapi saya tidak peduli.

Proses yang sama saya terapkan dalam melakukan analisis problem-solving atas tekad saya yang sudah mantap melakukan transplantasi liver. Maka, tim menyeleksi dokter-dokter ahli transplantasi di dunia: Australia, Amerika, Jepang, Singapura, Belanda, dan Tiongkok. Dari masing-masing negara kita pilih satu nama. Kita pelajari track record-nya. Juga, terutama, umurnya. Saya ingin dokter yang berpengalaman, tapi masih muda. Tangan anak muda, menurut logika saya, akan lebih firm ketika memegang pisau bedah. Saya memang sangat pro anak muda. Saya percaya hanya yang muda yang bisa diajak balapan di segala bidang.

Dari proses itulah lantas kami pilih dokter ini. Umurnya masih 52 tahun dan badannya tinggi tegap. Penampilannya meyakinkan. Urat-uratnya kukuh, mengindikasikan akan kuat dalam menghadapi tekanan mental maupun fisik. Pengalamannya juga luar biasa. Sudah melakukan tranplantasi liver lebih dari 500 kali. Bahkan, sudah membukukan beberapa rekor: Rekor terbanyak, rekor transplantasi tanpa transfusi darah, rekor transplantasi untuk pasien usia dini (3 tahun), transplantasi untuk pasien tertua (76 tahun). Dia memperoleh pendidikan khusus untuk ini di Jepang. Boleh dikata, dialah dokter Tiongkok yang paling jago di bidang transplantasi liver.

Tapi, masih ada satu yang meragukan. Padahal, yang saya ragukan ini masuk dalam ’persyaratan mutlak’. Artinya, mau tidak mau harus dipenuhi. Kalau hanya masuk ’persyaratan keinginan’, barangkali bisa diabaikan. Apa itu? Tempat! Apakah di Tiongkok ada rumah sakit yang bagus sekali? Bukankah rumah sakit di sana terkenal joroknya?

Untuk ini Robert Lai memeriksa rumah sakit tempat dokter itu berada. Yakni, di satu kota di belahan utara Tiongkok. Untuk Indonesia kota ini tidak populer, tapi saya sudah mengenalnya dengan sangat baik. Berkali-kali saya ke kota itu. Kunjungan pertama saya ke sana sekitar 10 tahun lalu.

Hasil kunjungan Robert Lai sangat memberi harapan. Khususnya tower yang baru. Sangat bersih dan terawat. Alat-alatnya juga amat modern. Dan, reputasinya yang tinggi sebagai pusat transplantasi liver sudah sangat terkenal. Saya sendiri pun lantas mengunjunginya. Saya langsung jatuh cinta pada kunjungan pertama. Hati saya mantap sekali.

Masih juga ada satu pertanyaan: maukah dia menangani saya? Ada waktukah dia? Inilah tugas Robert berikutnya. Dan, dia selalu berhasil menjalankan misinya. Maka sudah tidak tengok sana-sini lagi: Di sinilah saya akan melakukan transplantasi liver. Saya mengenal baik kotanya, mengenal baik budayanya, dan sedikit banyak sudah bisa berkomunikasi dengan bahasanya.

Sungguh tak terbayangkan bahwa tekad saya untuk belajar bahasa Mandarin lima tahun lalu ternyata saya sendiri yang akan memetik manfaat terbesarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau saya tidak bisa sedikit-sedikit berbahasa Mandarin.

Memang, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Jepang dan orang dari negara-negara Arab, bisa saja mempekerjakan juru bahasa. Namun, tidak akan semulus kalau diri sendiri yang tahu bahasa itu. Bahkan, karena hampir selalu berbahasa Mandarin, saya sering tidak dianggap orang asing. Apalagi sosok saya yang sosok Asia. Bahwa kulit saya agak hitam, banyak juga orang dari wilayah selatan atau dari Hainan yang juga berkulit seperti saya.

Robert juga langsung memesan kamar terbaik, yang ada ruang tamunya, dapurnya, saluran internet-nya. Dia tahu saya tidak akan bisa hidup tanpa jaringan internet. Robert juga langsung menyewa apartemen untuk setahun, membeli mobil, mencari sopir, pembantu rumah tangga, dan juru masak. Dia tahu belum tentu transplantasi bisa dilakukan segera. Problem transplantasi adalah di kesediaan donor. Masa menunggu tidak bisa ditentukan.

Keluarga saya, dan juga Robert, tinggal di apartemen. Saya tinggal di rumah sakit. Istri saya tidur di ruang tamu. Untuk membunuh waktu saya memutuskan meneruskan belajar bahasa Mandarin. Dua kali sehari. Pagi 2 jam, sore 2 jam. Guo Qiang mencarikan gurunya: tiga gadis yang masih kuliah di tahun terakhir IKIP setempat.

Istri saya sering melihat bagaimana saya belajar. Lalu dia sumpek sendiri membayangkan sulitnya. Dia memilih mendengarkan lagu-lagu kasidah dari CD yang dia bawa. Atau mendengarkan ayat-ayat Alquran yang kasetnya dia beli di Makkah. Yakni, ayat-ayat mulai Al Fatihah sampai terakhir surat An Nas dari imam salat tarawih di Masjidilharam. Sudah beberapa tahun saya dan istri selalu di Makkah saat akhir Ramadan.

Kalau akhir pekan, saya pamit ke kota lain. Saya tahu tidak ada operasi pada Sabtu dan Minggu. Pada hari-hari seperti itu saya terbang ke provinsi lain. Saya boleh terbang-terbang asal masih dalam radius empat jam penerbangan. Maksudnya, kalau ada sesuatu yang mendadak (misalnya, tiba-tiba ada donor), saya bisa kembali segera.

Badan saya memang sangat sehat secara fisik lahiriah. Karena itu, saya sering lupa kalau di lengan saya sudah dipasangi selang kecil yang ujungnya ada di dekat jantung. Selang infus itu diperlukan kalau tiba-tiba harus transplan, sudah lebih siap.

Suatu saat saya ke Kota Dalian, satu jam penerbangan dari kota ini. Di salah satu plaza di sana, ada penjual raket squash dengan bola yang diikat tali karet. Kita bisa mencoba main squash tanpa harus lari-lari mengejar bola. Saya lupa akan selang infus di lengan saya. Saya main squash cukup lama. Keesokan harinya lengan saya sakit sekali. Sepanjang selang itu (mulai dari lengan sampai dada) kemeng sekali.

Suatu malam saya tidak bisa tidur. Pasien dari negara Arab di sebelah kamar saya berteriak-teriak sepanjang malam. Apakah dia sudah terkena kanker? Apakah kankernya sudah sampai ke kepala sehingga mengganggu otaknya?

Paginya dia berteriak-teriak lagi. Saya mencoba menengoknya. Tahulah saya bahwa dia masih diikat di ranjang. Ini penting untuk kesehatannya sendiri. Ternyata dia berontak karena ada janji, pagi-pagi ikatan sudah akan dilepas. Tapi, ternyata tidak. Rupanya rumah sakit masih khawatir dia akan berontak sehingga terus diikat. Siangnya, saya tahu lebih jelas mengapa dia berontak. Ini saya ketahui setelah saya bicara kepadanya dalam bahasa Arab. Dia memang tidak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Arab saya sudah banyak yang hilang sehingga perlu waktu lama untuk mengingat banyak kata yang jarang dipakai.

Ternyata pasien itu ingin menelepon keluarganya, tapi tidak diizinkan. Yang tidak mengizinkan adalah kerabat yang menunggunya. Mungkin untuk menghemat pulsa, mungkin juga karena sering telepon memang tidak baik bagi pasien seberat dia.

Ketika penunggunya lagi pergi, dan melihat saya bisa bicara Arab, dia minta tolong saya untuk memberi tahu perawat agar membantunya menelepon keluarga. Dia lantas menyodorkan hand phone yang rupanya tidak dibawa pergi oleh penunggunya. Ternyata dia juga sudah mengantongi secuil kertas lusuh berisi nomor telepon.

Tapi, angka-angka itu angka Arab. Dia mendiktekannya ke suster dengan bahasa Inggris yang amat tidak jelas. Tapi, setiap kali nomor itu dihubungi selalu gagal nyambung. Dia mulai kesal dan uring-uringan. Akhirnya saya rayu dia untuk memberikan cuilan kertas itu. Tahulah saya bahwa angka yang dipijit kurang satu digit. Mengapa? Ini karena ada satu titik di belakang angka-angka itu. Suster tidak tahu dan pasien juga tidak jelas melihatnya. Saya menyarankan agar menambah “nol” di pijitan terakhir. Titik, dalam huruf Arab, berarti nol. Ternyata nyambung. Luar biasa senangnya.

Sambil menunggu dan menunggu, saya terus menjaga kondisi. Badan saya harus sehat. Saya melakukan senam dan tidak mengenakan baju pasien. Para suster bilang bahwa saya ini bukan seperti orang sakit. “Saya memang tidak sakit. Saya hanya perlu transplantasi liver,” gurau saya kepada mereka.

Dalam masa penantian itu saya tidak boleh terkena flu. Karena flu saja bisa mengurangi potensi kesuksesan transplantasi. Saya juga harus menjaga agar protein di darah saya, terutama albumin, tidak terus merosot. Untuk menambah protein banyak sumbernya. Mulai daging, putih telur sampai ikan. Tapi, meningkatkan albumin luar biasa sulitnya.

Berminggu-minggu kami mendalami internet untuk mengetahui makanan apa saja yang bisa menaikkan albumin. Tidak ketemu. Di Tiongkok, yang biasa menyediakan menu ribuan macam di internet mereka dalam bahasa Mandarin, juga tidak ditemukan satu pun jenis makanan yang dimaksud. Satu-satunya sumber albumin adalah sahabat kecil saya dulu di desa: ikan kutuk. Di Kalimantan disebut ikan gabus. Dalam bahasa Inggris dikatakan “ikan kepala ular”, karena bentuknya seperti ular yang amat pendek.

Saya menghubungi guru besar Unibraw, Malang, Prof Eddy Suprayitno. Satu-satunya orang yang melakukan penelitian terhadap ikan kutuk. Setelah penjelasannya meyakinkan, mulailah saya minta istri saya berburu kutuk setiap hari. Penjual ikan di Pasar Rungkut hafal betul dengan istri saya. Entah sudah berapa ton saya mengonsumsi sop kutuk.

Saya lupa bertanya apakah Prof Suprayitno sudah mematenkan penelitiannya dan memikirkannya untuk sebuah industri. Yang saya tahu kehidupan Prof Suprayitno amat sederhana, sebagaimana umumnya guru besar di Indonesia.

Di Tiongkok, peneliti seperti itu jadi kaya raya. Satu orang yang meneliti satu jenis tanaman liar yang disebut ’tear drop’ (di desa saya dulu disebut manikan, sering untuk tasbih) kini menjadi orang terkaya nomor 200 di Tiongkok. Sebab, buah manikan ternyata mengandung khasiat antikanker. Seorang peneliti padi yang dulu hidup di desa selama 20 tahun, kini menjadi pemegang saham perusahaan pembibitan dengan aset triliunan rupiah.

Ikan kutuk ternyata tidak ada di tempat lain. Jadi amat berharga. Tapi, karena saya akan tinggal lama di Tiongkok, tentu saya akan kesulitan membawa kutuk ke sana. Lalu muncul di pikiran, masak tidak ada kutuk di Tiongkok. Maka saya mencari kutuk di sana. Di setiap kota yang saya singgahi saya perlukan untuk mengunjungi pasar ikannya: di Nanchang, di Nanjing, di Wuhan, di Harbin, di Dalian, di Qingdao, dan seterusnya. Tapi, saya tidak menemukannya.

Di Nanchang, teman saya di pelosok desa mengabarkan di desanya banyak ikan kutuk. Saya pernah ke desa itu sebelum tahu bahwa saya punya sirosis. Ketika saya ke Nanchang, dia datang dengan bapaknya sambil membawa satu ember ikan. Dia naik kendaraan umum selama satu jam untuk bisa sampai ke kota. Bapak teman saya, dengan bahasa daerah yang tidak saya mengerti, menjelaskan panjang lebar bagaimana satu hari tadi dia berusaha mencari ikan satu ember itu.

Saya berterima kasih padanya. Saya mengatakan “benar”, itulah ikan yang saya cari. Tapi, sebenarnya bukan. Bentuknya memang persis kutuk, tapi bukan kutuk. “Kutuk Tiongkok” ini lebih hitam. Karena itu, di sana disebut “hei yu” -“hei” artinya hitam, “yu” artinya, Anda bisa menduga sendiri. Kandungan daging “hei yu” tidak sama dengan kutuk di Jawa.

Di Kalimantan lebih lengkap. Kutuk, yang di sana disebut ikan gabus, sangat banyak. “Hei yu” juga banyak. “Hei yu”, yang kalau di Kalimantan disebut ikan tomang, juga bisa tumbuh besar sampai kuat merusak perahu kayu kecil-kecil. Tapi, dagingnya hambar. “Hei yu” di Kalimantan lebih banyak dimanfaatkan untuk ikan asin. Sedangkan ikan gabus yang manis, enak sekali dimasak bumbu bali, dimakan dengan nasi kuning.

Selama di Tiongkok saya kesulitan sumber albumin ini. Padahal, mempertahankan albumin menjadi amat penting. Dalam keadaan normal, liver bisa memproduksi albumin. Tapi, karena liver saya rusak, sungguh sulit mengatasinya. Akhirnya, agar badan tetap sehat, saya memutuskan untuk selalu makan banyak. Enak tidak enak sudah tidak penting lagi. Badan saya harus sehat menghadapi operasi besar. Ibaratnya saya harus seperti kerbau yang akan dijual untuk disembelih: Harus sehat dan gemuk. (bersambung)

Pengalaman Dahlan Iskan Menjalani Transplantasi Liver (20)

Jumat, 14 Sept 2007,

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.co.id
sms: 081 331 313 373

Baru Tahu Mengapa Dokter Singapura Pilih Potong Limpa Saya
ANCAMAN infeksi yang serius setelah pemotongan (embolisasi) limpa, memang tidak dianggap enteng oleh Prof Shao. Apalagi, suhu badan saya, pada hari-hari pertama, naik sangat tinggi: lebih dari 38 derajat Celsius. Tapi, semua bisa diatasi. Seminggu kemudian, suhu badan saya kembali normal dan stabil. Rasa sakit setelah pemotongan itu lebih hebat daripada transplantasi liver. Juga lebih lama: seminggu penuh.

Selama seminggu itu pula Prof Shao dalam ketegangan. “Sudah lima hari saya belum pulang. Saya tidur di rumah sakit, di kantor saya. Menunggui Anda,” ujar dr Shao. “Sekarang Anda sudah stabil. Saya mau istirahat,” pamitnya. Penampilannya memang agak lecek. Tidak secantik ketika dalam keadaan segar.

Kalau sebelum operasi saya lihat dia sering berlinang air mata, kini ganti saya yang amat terharu. Saya minta maaf berkali-kali karena telah membuatnya tidak bisa pulang. Saya juga tabik tak henti-hentinya. Tabik dengan cara Tiongkok. Ini untuk mewakili ucapan terima kasih saya kepadanya yang tidak terhingga. Begitu besar perhatiannya. Begitu tinggi tanggung jawabnya.

Saat itulah saya mengerti mengapa banyak dokter di Singapura memilih membuang saja limpa saya daripada memotongnya. Perawatan setelah pemotongan ternyata begitu sulit. Kebalikannya, perawatan setelah pembuangan limpa akan lebih mudah. Bahwa setelah limpa dibuang akan merepotkan pasien seumur hidup, itu kan sudah di luar tangung jawab dokter yang membuangnya. “Mana ada dokter di negara lain yang mau menunggui pasien sampai lima hari tidak pulang,” kata saya dalam hati.

Tiga hari setelah libur, barulah Prof Shao menemui saya lagi di kamar rumah sakit. Wajahnya masih tidak terlalu cerah, seperti orang sakit. Matanya yang biasanya tajam, kali ini agak memerah. Bulu matanya yang hitam seperti bendera setengah tiang. Tahu sedang saya perhatikan, dia merasa risi. “Dua hari saya flu,” katanya segera. “Semua gara-gara Anda,” tambahnya.

Sekali lagi saya minta maaf berulang-ulang. Ternyata saya telah menyiksanya. Rupanya, begitu kondisi saya stabil, ketegangan lima hari yang mencekam dirinya hilang. Bersamaan dengan itu flu datang menyerang.

“Jadi, tiga hari di rumah tidak bisa menikmati,” katanya seperti ingin bergurau. Guraunya selalu ringan-ringan saja. Tidak pernah dikemukakan dengan lepas. Tertutupi oleh jabatan tingginya dan mungkin juga kekomunisannya.

Tiga minggu kemudian, badan saya sudah terasa enak. Lalu ingat lagi acara PLTU Kaltim dan gedung Expo Jatim yang sudah menanti. Saya tahu tidak akan diizinkan pulang. Tapi, saya harus pulang. Ini soal kebakaran rumah memang, tapi yang terbakar rumah sendiri, bukan rumah tetangga.

Pagi-pagi Guo Qiang, anak saudara angkat saya Mr Guo, saya minta menerjemahkan surat yang saya buat. Guo Qiang saya minta menuliskannya dalam bahasa Mandarin yang indah. Maksud saya yang akan bisa meluluhkan hati Prof Shao. Kemampuan bahasa Mandarin saya belum sampai pada tingkat untuk bisa dipakai merayu.

Surat itu saya mulai dengan pujian. “Mungkin, Andalah dokter terbaik di muka bumi ini,” tulis saya di pembukaan surat. Setengah memuji, setengah memompa dadanya. “Mana ada dokter yang mau lima hari tidak pulang untuk menunggui pasiennya?” saya menunjukkan fakta. Saya tidak mengada-ada, meski fakta itu memang saya pakai merayu.

Bait kedua saya manfaatkan untuk ucapan terima kasih. Lalu minta maaf. Baru pada bait ketiga saya ’memperkosa’-nya. Yakni, memasukkan kalimat-kalimat merendah, tapi juga berisi memaksanya agar mengizinkan saya pulang. Saya juga mencoba lagi kemampuan ilmu mantiq yang saya pelajari di aliyah dulu.

Tiba-tiba dia masuk kamar saya dengan menggenggam surat itu. Wajahnya merah serius. Langkahnya cepat. Beberapa dokter muda yang mengikutinya sampai agak tertinggal di belakang. Pagi itu, yang mestinya melakukan kegiatan rutin, langsung diubah untuk menemui saya. Dari ekspresi wajah dan body language-nya, Prof Shao seperti tidak membaca alinea pertama. Rayuan saya ternyata telah diabaikannya. Guru besar ternama di bidang liver itu seperti langsung membaca alinea yang ’memperkosa’-nya.

Bertatapan dengan saya, dia tidak langsung berkata-kata. Dia menatap wajah saya dengan tatapan multi-arti: marah, kesal, dan gondok bercampur jadi satu. Mudah-mudahan masih terselip raya sayang di dalam campuran itu. Lama dia tidak berkata-kata. Sampai-sampai banyak dokter muda yang menunduk. Setelah menarik napas panjang, barulah dia mengucapkan kalimat yang bernada putus asa. “Sudah saya duga,” katanya.

“Bukankah indikasi-indikasi dalam darah saya sudah menunjukkan bahwa saya kuat terbang jauh?” kata saya memecah kebekuan. Lalu saya menunjukkan hasil lab. “HB saya 13, SGPT-OT saya mendekati normal, Plt saya sudah 120, tekanan darah juga normal,” kata saya.

Prof Shao seperti kian gondok. Mungkin merasa kok saya seperti sok tahu kedokteran. “Semua itu benar,” jawabnya. “Tapi, ada satu data yang saya sembunyikan. HBV-DNA Anda masih 15 juta. Padahal, seharusnya di bawah 100 saja,” katanya.

Saya terpojok. Tidak menduga sama sekali dia merahasiakan itu dari saya. Bahkan, saya tidak tahu apa hubungannya antara sakit saya dan HBV-DNA. Kami terdiam lama. Saya lihat Prof Shao mulai menitikkan air mata. Melihat itu, dokter-dokter muda yang menyertainya menyerahkan tisu kepadanya. Mata saya juga mulai berlinang. Saya dalam posisi sulit. Saya terjepit antara keharuan dan romantisme di satu pihak dengan rasa tanggung jawab di pihak lain. Tanggung jawab yang juga tidak kecil. Tanggung jawab dan risiko sebagai pimpinan. Tanggung jawab kepada rakyat Kaltim dan Perusda Jatim. Lalu muncullah keteguhan dalam hati saya untuk lebih mementingkan tanggung jawab itu.

Maka, saya putuskan untuk berbuat ini di depan Prof Shao. Turun dari tempat tidur dan ingin bergegas mencium kakinya. Ini sebagai tanda bahwa saya minta maaf yang dalam, tapi sekaligus minta dengan sangat agar diperbolehkan pulang. Dia tahu saya tidak pura-pura. Saya sudah hampir menubruk kakinya. Prof Shao bergegas mengangkat kepala saya. Dia menahan tangis. Robert Lai juga mengusap-usap matanya. Demikian juga istri saya.

Lalu Prof Shao menarik napas panjang. “Ya, sudah. Tidak bisa dicegah. Saya akan izinkan. Tapi, obat yang saya siapkan nanti harus diminum,” katanya melemah. Kini ganti saya yang lebih banyak menitikkan air mata.

Besok paginya, dari rumah sakit saya langsung ke bandara. Saya pakai kursi roda selama dalam perjalanan pulang. Dengan diungkapkannya data soal kadar HBV-DNA saya, ternyata saya belum prima. Saya harus lebih hati-hati.

***

Kian hari kondisi saya kian baik. HBV-DNA saya juga menurun drastis. Seminggu kemudian sudah menjadi 1,5 juta. Sebulan kemudian sudah normal.

Kini saya sudah terbebas dari ancaman tiba-tiba meninggal. Juga sudah terhindar dari ancaman tiba-tiba perdarahan dari lubang-lubang tubuh saya. Apalagi, sebelum potong-limpa itu saya juga sudah dua kali melakukan TACE di Singapura. Yakni, mengusahakan pembunuhan atas dua kanker liver saya dengan cara dimasuki alat pembunuh lewat selangkangan saya.

Saya tahu semua itu tidak menyelesaikan persoalan. Sakit saya sudah terlewat parah. Semua itu hanya usaha untuk ulur-waktu, buying-time. Tapi, setidaknya saya kini punya kesempatan beberapa bulan untuk memikirkan cara terbaik mengatasi sirosis-kanker saya secara permanen. Termasuk mempertimbangkan untuk transplantasi. (Bersambung)

Pengalaman Dahlan Iskan Menjalani Transplantasi Liver (19)

Kamis, 13 Sept 2007,

Oleh:
DAHLAN ISKAN
email: iskan@jawapos.co.id
sms: 081 331 313 373

Waktunya Tiba, ketika Menggigit Pisang Berlumur Darah
SETUJUKAH dokter Singapura dengan pendapat Prof Shao dari Tianjin, Tiongkok, tentang rencana pemotongan limpa saya?

“Kalau tujuannya untuk menaikkan platelet, memang OK,” katanya. Dia juga setuju kalau sampai platelet turun terus, ketahanan tubuh saya kian habis dan saya akan mengalami perdarahan dari setiap lubang yang saya miliki. Ini juga sama dengan penjelasan Prof Shao. Waktu itu saya juga tanya ke Prof Shao: Pada angka berapa perdarahan itu akan terjadi? Katakanlah platelet saya (yang seharusnya minimal 150) sekarang tinggal 60. Dan masih akan turun terus.

“Setiap orang tidak sama,” jawab dr Shao. “Ada yang pada angka 60 seperti Anda sekarang sudah perdarahan,” tambahnya. “Tapi, ada juga yang baru perdarahan ketika platelet-nya sudah 50,” katanya lagi. Kapan platelet saya akan turun sampai angka 50? Berapa minggu lagi? “Tidak bisa diperkirakan begitu. Bisa saja tiba-tiba drop jadi 50 atau bahkan di bawahnya,” katanya. “Perhatikan saja lubang hidung Anda. Atau telinga. Atau kalau sedang sikat gigi,” tambahnya.

Meski setuju platelet saya harus dinaikkan, dokter Singapura ternyata tidak setuju kalau itu dilakukan dengan cara memotong limpa. “Dibuang saja sekalian,” ujarnya. Uh! Dalam istilah medis, pembuangan limpa itu disebut dengan splenectomy.

Mendengar kata “limpa dipotong” saja, saya sudah tidak senang. Ini malah disuruh membuang. “Tidak apa-apa. Orang bisa hidup tanpa limpa,” tambah dokter di Singapura itu. Memang, orang bisa hidup tanpa limpa. Tetapi, kan lantas tidak terlalu tahan terhadap infeksi. Makanya saya tanya ke dokter di Singapura itu. Fungsi limpanya bagaimana? “Diganti obat,” jawabnya.

Pemotongan limpa, menurut dokter Singapura itu, sangat berbahaya. Bisa timbul infeksi di tiga tempat yang akan mengakibatkan kematian. Yakni, infeksi di selaput dada, infeksi di tempat limpa dipotong. “Singapura sudah lama tidak mau lagi memotong limpa. Sudah lebih 15 tahun,” katanya. “Membuang limpa sama sekali malah lebih safe,” tambahnya.

Penjelasannya, meski singkat, sangat masuk akal. Saya bisa menerima sepenuhnya. Tapi, saya juga berpikir: Masak Prof Shao tidak tahu itu. Tidak mungkin, rasanya. Maka saya tidak begitu saja mengambil keputusan membuang limpa. Nanti, dalam kesempatan saya ke Tiongkok lagi, saya akan menemui Prof Shao untuk ’menguji’-nya. Itu, tentu, kalau masih sempat.

***

Saya memang harus ke Tiongkok lagi. Ada beberapa urusan. Urusan Jawa Pos sendiri, urusan pabrik steel conveyor belt-nya perusahaan daerah Jatim, urusan perusahaan daerah Kaltim, dan urusan menepati janji. Saya sudah berjanji kepada Dirjen minyak dan gas yang baru untuk mengajaknya ke Tiongkok. Untuk melihat bagaimana negara itu bekerja keras mencukupi kebutuhan minyak.

Sudah lama saya gemas, mengapa Indonesia sebagai negara penghasil minyak justru menderita ketika harga minyak dunia membubung? Sampai harus menaikkan harga BBM yang menghebohkan itu? Mengapa tidak justru menikmatinya? Ini semua karena produksi minyak Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Terakhir, pada 2005, sudah berada di bawah satu juta barel per hari. Sudah sangat tidak layak menjadi anggota OPEC.

Kebetulan Dirjen Migas yang baru juga berambisi mengatasi hal itu. Saya ingin membantunya meski saya hanyalah rakyat biasa. Saya sering ke ladang minyak di Tiongkok. Saya melihat betapa semangatnya orang di Daqing (Provinsi Heilongjiang) dan di Panjin (Provinsi Liaoning) menggali minyak. Padahal, sumur-sumur minyak di sana lebih dalam dan iklimnya juga lebih beku. Minyak yang didapat pun lebih jelek dibanding minyak mentah Indonesia. Tapi, semangat untuk menggalinya luar biasa. Dengan alat-alat yang lebih sederhana mereka bisa menghasilkan minyak lebih banyak.

Hari itu kebetulan Dirjen Migas punya acara di Shanghai. Maka, saya ingin mengajaknya mampir ke Liaoning dan Heilongjiang. Saya janjian bertemu di Kota Dalian. Di bandara kota itu pukul 24.00, yakni saat pesawatnya mendarat dari Shanghai.

Paginya saya masih di kota Tianjin, untuk bertemu Prof Shao. Kepada ahli penyakit liver ini langsung saja saya semprotkan pertanyaan berdasar pendapat dokter di Singapura. “Di Singapura dokter tidak mau lagi memotong limpa. Di sana cara itu sudah dianggap kuno,” kata saya. “Siapa bilang itu kuno?” sergahnya. Suaranya meninggi. “Justru membuang limpa itu yang kuno sekali. Itu cara 60 tahun yang lalu,” katanya.

Ketika saya tanya soal risiko infeksi di tiga tempat yang sangat membahayakan, dia tidak mengelak. “Tentu saya tahu. Tapi, juga tahu cara menghindarinya,”’ katanya. Jawabannya tegas, mantap, dan percaya diri. Tinggal saya yang harus memilih lebih percaya kepada yang mana. Dua-duanya masuk akal. Dua-duanya bisa diterima secara medis. Ini soal pilihan. Giliran saya sendiri yang harus memutuskan.

Segera saya gunakan ilmu mantiq saya: sudah berapa kali Prof Shao melakukan pemotongan limpa? “Sudah banyak kali,” katanya. “Banyak itu berapa? Berapa puluh?” tanya saya lagi. “Sudah lebih dari 500,” jawabnya mantap. Ya, sudah. Saya pilih dipotong saja. Biar berkurang, tapi masih ada sisanya. Saya ingat usul-fikh ahli sunnah wal jamaah: Sesuatu yang tidak bisa dipakai semua, jangan dibuang semua.

Maka saya pun memutuskan akan titip nasib ke Prof Shao. Tapi, sore itu saya harus ke Dalian, karena tengah malam nanti harus menjemput Dirjen Migas di bandara kota itu. Penerbangan dari Tianjin ke Dalian memakan waktu satu jam. “Saya minta izin ke Dalian dulu. Rumah besar saya, Indonesia, akan terbakar,” gurau saya kepada Prof Shao. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menarik panjang napasnya.

Tiba di Dalian sudah agak malam. Sudah waktunya makan malam. Saat makan malam itulah saya kaget. Ketika saya menggigit pisang, sisa pisang itu berlumur darah! “This is the time! Wo de shi jian dao le. Tibalah sudah waktu saya,” kata saya dalam hati. Saya menundukkan kepala sesaat. Memikirkan apa yang harus saya perbuat.

Saya lari ke toilet. Berkumur. Merah airnya. Berkumur lagi dan berkumur lagi. Ah, hilang merahnya. Satu jam kemudian saya berkumur lagi, tidak ada darahnya.

Saya pun bertekad tetap memenuhi komitmen saya. Saat menyalami kedatangan Dirjen Migas, saya tidak menceritakan apa yang terjadi atas diri saya. Saya terus tersenyum dan memberinya semangat untuk terus membangun dunia minyak. Saya tahu tekadnya kuat sekali untuk memperbaiki perminyakan Indonesia, dan karena itu saya antusias membantunya.

Pagi-pagi kami bermobil sejauh 400 km ke Panjin. Sorenya bermobil lagi ke kota Shenyang. Malamnya terbang ke kota Harbin. Pagi-pagi bermobil 500 kilometer ke kota Daqing. Dirjen serius sekali melihat semua itu. “Mereka ini benar-benar seperti koret-koret (mengais sisa-sisa) minyak,” katanya. Malam hari balik lagi ke Harbin. Pagi-pagi Dirjen kembali ke Beijing untuk balik ke Indonesia. Saya terbang ke Tianjin untuk pemotongan limpa saya.

“Lakukan sekarang!” kata saya begitu bertemu Prof Shao.
“Apa?” tanyanya.
“Potong saja limpa saya,” kata saya.
“Mengapa?” tanyanya lagi, kali ini seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya meningkat. Dia sudah sering mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya. “Wo bu guan ni,” katanya.
Tapi, saya tahu dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya.
“Tidak bisa sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda,” katanya.
“Saya bisa usahakan sekarang,” tegas saya.

Saya lantas menelepon istri saya. “Kalau nanti ada teman Jawa Pos membawa formulir ke rumah, tanda tangani saja. Formulirnya dalam bahasa Mandarin, kita nggak tahu maksudnya,” kata saya. Istri saya tidak bertanya banyak. “Saya akan operasi kecil,” kata saya tidak ingin menggundahkan hatinya.

Saya memang sudah beberapa kali operasi kecil. Yakni, untuk mengeluarkan benjolan yang ada di bawah kulit di beberapa bagian di tubuh saya. Saya langsung minta formulir persetujuan operasi dan memfaksimilikan ke Surabaya. Setelah ditandatangani istri saya, dikirim balik ke Tianjin.

“Ini persetujuan istri saya,” kata saya.
“Ini apa?” tanyanya melihat tanda tangan istri saya yang tidak lazim untuk mata orang Tiongkok.
“Itu tanda tangan istri saya. Bentuknya tidak penting. Tapi, doa di balik tekenan itu yang penting,” kata saya ingin setengah memuji istri saya, setengah melucu.

Ternyata Prof Shao tidak tersenyum. Saya lupa kalau dia komunis, yang tidak tahu apa itu doa.

Dengan datangnya persetujuan istri saya, saya mengira operasi pemotongan limpa bisa dilakukan hari itu, atau besoknya. Ternyata harus tiga hari kemudian. Mengapa? Karena ruang operasinya baru saja dirombak. Hari itu baru selesai. Dan, saya tidak boleh menjadi pasien pertama yang menggunakannya. Jadi, tidak bisa tanggal 6 Oktober 2006. Harus 8 Oktober.

Padahal, saya ingin operasi itu dilakukan pada 6 Oktober. Lalu, sebagaimana dijelaskan Prof Shao, sebulan kemudian saya sudah akan bisa keluar dari rumah sakit. Setelah operasi, 8 jam saya tidak boleh bergerak. Lalu seminggu tidak boleh turun dari tempat tidur. Tiga minggu berikutnya harus tetap di rumah sakit.

Saya ingin operasi itu dilakukan tanggal 6 karena pada tanggal 7 bulan berikutnya ada acara penting di Indonesia: menandatangani persetujuan proyek PLTU Kaltim dan peresmian gedung Expo Jatim. Maksud saya, tanggal 5 sebulan kemudian saya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Langsung ke bandara untuk pulang ke Surabaya. Tanggal 7 sudah menandatangani perjanjian PLTU Kaltim dengan konsorsium bank dan meresmikan gedung Expo Jatim. Saya tidak pernah membayangkan operasi pemotongan limpa ini akan gagal.

Namun, dengan mundurnya tanggal operasi, waktu recovery saya tidak cukup. Itulah sebabnya, saat upacara tersebut saya terlihat pucat. Keringat dingin memang memenuhi badan saya. Hari itu, ketika saya di panggung, seharusnya masih di atas tempat tidur di rumah sakit di Tianjin. (Bersambung)

Pengalaman Dahlan Iskan Menjalani Transplantasi Liver (18)

Maret 14, 2010 2 komentar

Rabu, 12 Sept 2007,

Oleh:

Dahlan Iskan
Email: iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313 373

Dokter Menegur Iba, Ingat Nasib Ayahnya yang Redaktur
BUKAN. Bukan bodoh. Semua penjelasan Prof Shao mengenai bahayanya penyakit saya, saya mengerti sepenuhnya. Terang-benderang penjelasannya. Saya pasti tidak bodoh. Hanya saya sadari, saya agak ndablek. Dan dia tahu perilaku saya itu. Dia tahu keras kepala saya, sembrono saya.

Suatu saat, ketika saya kembali menemuinya setelah setengah bulan menghilang, dia lama memandang saya. “Ke mana saja Anda? Kami di sini prihatin sekali. Takut terjadi sesuatu pada Anda,” katanya dengan nada khawatir. Mungkin juga jengkel.

“Saya baru datang dari Indonesia,” jawab saya. Dia setengah tidak percaya, setengah gondok. “Lho, setelah dari sini dulu itu, Anda pulang ke Indonesia? Kenapa? Apa kata saya tentang kebakaran rumah tetangga?” ujarnya. Dia lantas menarik napas panjang sekali.

“Dahlan, Anda ini sudah gawat. Saya tidak mau kehilangan Anda,” katanya. Berkata begitu, dia seperti setengah menegur setengah mengiba. Dia kembali menarik napas panjang sekali. Matanya kelihatan berlinang. Dia keluarkan tisu di sakunya. Dia usap air matanya.

Beberapa hari kemudian, dia bercerita kepada saya mengapa sampai hampir menangis ketika menasihati saya. Ternyata, dia ingat bapaknya. Bapaknya seorang redaktur surat kabar. Ibunya seorang hakim terkemuka. Bapaknya terus menulis buku sepanjang malam. Lalu meninggal. Ternyata karena sakit liver. Dia tidak tahu itu dan tidak memperhatikan itu. Padahal, dia dokter ahli liver. Waktu itu, katanya, dia juga sedang belajar ekstrakeras selain kerja keras. Sebab, dia akan segera dapat beasiswa untuk sekolah lagi di luar negeri. Tapi, semuanya gagal. Beasiswa tidak jadi. Ayahnya pun pergi. Dia menangis lagi saat menceritakan itu.

Dia lantas ingin merawat saya semaksimal mungkin agar tidak seperti bapaknya. Saya sendiri juga kepingin agar tidak seperti ibu saya. Dia akan sangat kecewa kalau saya sendiri tidak peduli dengan badan saya. Apalagi dari hasil pemeriksaan total, dia lihat masih ada sedikit peluang. Hasil “laminating” yang dilakukan di Singapura terhadap saluran pencernakan saya yang sudah penuh varises sangat baik. Cukup untuk mengulur waktu beberapa bulan. “Laminating” itu kurang lebih bisa bertahan setahun. Kalau toh ada tanda-tanda bengkak lagi, masih bisa “dilaminating” sekali lagi.

Prof Shao lebih prihatin pada kadar platelet atau trombosit saya yang tinggal 60. Angka minimal untuk kadar trombosit seharusnya 150 (ini angka dalam standar laboratorium di Tiongkok). Di negara lain, termasuk Indonesia, digunakan standar minimal 150.000. Normalnya 150.000 sampai 400.000 per milimeter kubik darah.

Melihat rendahnya kadar platelet saya, Prof Shao lantas berpikir keras mencari jalan untuk menaikkan kadar platelet saya. Tapi, caranya tidak lewat injeksi karena hal itu hanya bisa bertahan dua-tiga hari. Setelah itu, platelet akan turun lagi.

“Mungkin saya akan mengecilkan limpa Anda,” katanya. Limpa saya harus dipotong? “Boleh dibilang begitu. Namanya diembolisasi,” ujarnya.

Dipotong seberapa banyak? “Sekarang, limpa Anda sudah membesar tiga kali ukuran normal. Mungkin dikurangi sepertiganya dulu,” katanya.

“Limpa dipotong?” kata saya dalam hati. Saya minta waktu berpikir untuk memutuskannya.

Mengapa limpa harus dikecilkan?

Limpa adalah organ kecil -yang dalam keadaan normal hanya seukuran genggaman kita- di bawah iga kiri. Tugasnya melawan infeksi, memproduksi sel darah merah dan darah putih tipe tertentu, serta menyingkirkan sampah-sampah di pembuluh darah. Yang disebut sampah di pembuluh darah, antara lain, adalah sel-sel darah yang rusak.

Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan terdahulu, aliran darah ke liver saya (baca: penderita sirosis) tidak bisa lancar. Akibatnya, darah mengalir balik ke limpa. Untuk menampung limpahan itu, limpa lantas “membesarkan diri”. Makin banyak darah yang harus ditampung, semakin besar pula ukuran limpa.

Karena jumlahnya di luar batas normal, limpa pun memperlakukan sel-sel darah yang numpuk itu sebagai sampah yang harus disingkirkan. Itu berarti sel-sel darah yang “sehat” pun ikut disingkirkan.

Bagi limpa, luberan sel darah yang berlimpah itu memang menyulitkan. Sebab, jika tidak dihancurkan, sel-sel sehat dan rusak itu akan mengerak dan mengganggu fungsinya. Tapi, jika dihancurkan semua, darah akan kekurangan sel darah merah, darah putih, dan platelet yang “sehat”. Padahal, orang yang kekurangan sel darah merah akan mengalami anemia (kekurangan darah). Kalau kekurangan darah putih, orang akan gampang terkena infeksi dan yang kekurangan platelet akan mudah mengalami pendarahan. Tiga-tiganya bisa mengakibatkan kematian.

Oh, ya saya lupa menjelaskan bahwa sebenarnya, bukan hanya kadar platelet saya yang turun. Tapi juga sel darah putih dan sel darah merah saya. Untuk menormalkan kadar sel-sel darah saya itulah, Prof Shao memutuskan perlunya mengecilkan limpa saya.

Ini memang bukan langkah permanen. Sebab, selama liver saya sirosis, darah yang tidak bisa masuk liver akan meluber dan menekan ke mana-mana, termasuk ke limpa. Artinya, setelah dipotong pun, kelak limpa membesar lagi? Ya. Dan itu akan membuat pletelet juga turun lagi. Kalau tahap itu sudah terjadi, limpa saya masih bisa dipotong lagi, sekali lagi.

Limpa memiliki tiga saluran darah masuk utama. Kalau salah satu saluran itu dimatikan, limpa akan mati sepertiga. Mematikan salah satu di antara tiga saluran itulah, yang akan dilakukan Prof Shao. Kelak, kalau limpa sudah membesar lagi, masih ada satu di antara dua saluran utama yang bisa dimatikan lagi. Tentu pemotongan limpa itu tidak bisa dilakukan tiga kali karena sama artinya dengan membuang limpa sama sekali. Tapi, dua tahap pemotongan limpa tersebut dianggap cukup untuk mengulur waktu sampai lima tahun.

Saya tetap minta waktu memikirkannya. Saya kembali ke Indonesia lagi agar, antara lain, bisa mampir ke Singapura. Saya ingin mendapatkan opini pembanding.

Saya harus kembali ke tanah air karena sudah terlanjur komit untuk mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim. Dari Kaltim-lah, saya memulai karir sehingga saya anggap Kaltim seperti daerah kelahiran sendiri. Setamat SMA, saya memang ke Kaltim, ikut kakak sulung saya. Tujuan satu: agar bisa kuliah. Di Jawa saya tidak mungkin bisa masuk universitas karena tidak punya biaya. Di Kaltim, masuk univeristas masih gampang dan murah. Saya masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda. Kampusnya di sebuah rumah panggung di Jalan Panglima Batur IV. Sewaktu kuliah, saya sering melihat ke bawah. Karena lantai papannya tidak cukup rapat, saya bisa menyaksikan apa yang terjadi di kolong yang sering digenangi air. Sering ada suara “krosak” di kolong itu yang lebih menarik perhatian saya daripada mata kuliah. Itulah suara biawak berkelahi. Biawak adalah binatang seperti buaya, tapi hidup di darat. Sebagai tamatan aliyah, saya memang tidak mendapat ilmu baru dari mata kuliah yang sudah saya pelajari semua di kelas satu SMA itu.

Tahun-tahun belakangan Kaltim mengalami krisis listrik. Pemadaman terjadi bergilir. Banyak kampung miskin terbakar karena saat lampu mati, mereka harus menyalakan lilin. Nah, lilin itulah yang sering mengakibatkan kebakaran. PLN tidak bisa banyak berbuat karena selalu rugi. Setahun PLN Kaltim bisa rugi hampir setengah triliun rupiah (2005). Kaltim tidak bisa berharap banyak pada PLN. Pembangkit-pembangkit listrik PLN sangat tidak efisien. Untuk menghasilkan satu watt, diperlukan biaya Rp 2.000-an. Padahal, rakyat hanya dikenai tarif Rp 750. Kalau tarif listrik dinaikkan, yang terjadi adalah demo. Jadi, sejak sebelum matahari terbit pun, PLN sudah tahu bahwa hari itu perusahaannya akan rugi Rp 1.250 per watt.

Maka, saya meyakinkan pimpinan-pimpinan daerah di sana, mulai gubernur sampai DPRD, agar mau menyisihkan sebagian anggaran untuk investasi di listrik. Membangun PLTU yang efisien, yang biaya produksi listriknya hanya Rp 500 per watt. Kalau dijual Rp 750 per watt kepada masyarakat, PLN langsung untung. Anggaran Kaltim yang besar karena sumber alamnya yang melimpah jangan habis untuk kebutuhan konsumtif. Pemda setuju asal saya mau jadi direktur utama perusahaan daerah di sana. Seperti yang saya lakukan di Jatim.

Proyek energi yang kelihatannya mulia itu ternyata juga memakan bukan hanya dana saya, tapi juga energi saya. Dan, yang utama lagi memakan batin saya. Meski tujuannya begitu hebat, logikanya begitu baik, dan hasilnya bagi PLN juga begitu nyata (dari perusahan rugi akan langsung jadi laba), proses perizinannya ternyata sangat panjang, melelahkan, dan menjengkelkan. Dua tahun baru beres. Padahal, saya kenal direksi PLN-nya, kenal menteri-menteri di bidangnya, kenal wakil presiden, dan bahkan presidennya. Memang, saya tidak pernah memanfaatkan kedekatan saya itu untuk urusan tersebut. Sudah jadi prinsip saya untuk tidak memanfaatkan keberadaan saya di pers untuk menekan seseorang.

Pernah suatu saat saya diajak ke Tiongkok oleh Wapres Jusuf Kalla. Di atas pesawat, Wapres mengumpulkan menteri dan direksi PLN untuk membahas kasus Kaltim itu. Ini bukan karena saya mengadu, tapi karena Chairul Tanjung yang berinisiatif. Bos Bank Mega yang juga bos Trans TV itu yang prihatin dengan keluhan saya. “Ini harus selesai. Kalau Dahlan saja mengalami hal seperti ini, bagaimana yang lain?” katanya. Saya malu proyek sekecil itu saja sampai dibahas di forum yang begitu tinggi. Tinggi level dan tinggi pula tempatnya. Di dalam pesawat yang berada 36.000 kaki di atas permukaan laut.

“Urusan kecil begini kok panjang sekali, ya,” kata saya kepada Chairul Tanjung. Sebagian karena malu, sebagian lagi sebagai ungkapan terima kasih atas inisiatifnya.

“Ini memang rusan kecil bagi Anda. Tapi kalau tembok ini tidak dijebol, siapa yang mau masuk jadi investor listrik,” kata bos Bank Mega yang namanya meroket tahun-tahun terakhir ini. “Saya saja tidak mau. Saya baru mau masuk ke listrik kalau urusan ini sudah selesai,” tambahnya.

Tentu sebenarnya juga bukan kecil bagi saya. Kecil yang saya maksud adalah dari sudut pandang negara. Ini besar bagi saya, terutama risikonya. Risiko pada keuangan saya dan pada kesehatan saya. Memang, saya akan dicatat sebagai penjebol tembok kebuntuan listrik itu. Namun, bisa jadi, kepala saya juga pecah ketika membenturnya. Tembok tersebut terlalu tebal.

Memang ada juga salah saya. Saya terlalu terpengaruh suasana di Tiongkok. Ini gara-gara saya terlalu sering ke negeri itu dan melihat bagaimana antusiasnya pemerintah kalau ada investor datang. Bayangan saya juga begitu sewaktu saya memiliki semangat untuk ikut mengatasi krisis listrik di Kaltim. Pasti pemerintah di segala lapisan akan senang. Kalau proyek tersebut berhasil, kan sama artinya dengan menyumbang Rp 500 miliar tiap tahun kepada negara? Bayangan saya pemerintah akan membuat segalanya lancar.

Kesalahan kedua saya, ketika setahun mengurus izin ini tidak berhasil (karena sejumlah peraturan yang tidak mengizinkan PLN menandatangani kontrak jangka panjang), saya setuju untuk kompromi. Yakni cukup mendapatkan kontrak tahunan saja dari PLN. Kalau kontrak tahunan, PLN tidak melanggar peraturan. Apalagi ada bank yang bersedia memberikan pinjaman meski kontraknya hanya tahunan. Ternyata, ujung-ujungnya, bank tetap mensyaratkan kontrak jangka panjang. Saya memahami aturan bank seperti itu. Saya juga memahami PLN tidak boleh melanggar aturan. Yang tidak saya pahami adalah mengapa ada peraturan yang menghambat kemajuan seperti itu. Kalau toh sudah telanjur ada karena masa lalu yang kelam, mengapa tidak segera dicabut.

Maka, lagi-lagi kami harus mengurus izin kontrak panjang dengan PLN. Tepatnya izin dari tiga lembaga, masing-masing dengan birokrasinya sendiri: kementerian energi, kementerian BUMN, dan PLN. Di kementerian energi saya tidak punya masalah. Di PLN hanya sedikit masalah. Tapi, saya buntu di kantor menteri BUMN. Padahal, saya kenal Menteri Soegiharto. Bahkan, dia juga ikut dalam rapat tingkat tinggi yang benar-benar tinggi itu.

Persoalan tersebut membuat saya harus mengabaikan peringatan keras Prof Shao bahwa saya tidak boleh terbang, tidak boleh lelah, tidak boleh mikir, tidak boleh marah, tidak boleh kesal. Saya ingat kata-kata Prof Shao bahwa walau terjadi kebakaran di rumah tetangga pun, saya tidak boleh peduli. Tapi, yang kebakaran ini bukan rumah tetangga. Rumah saya sendiri: Kaltim. Juga rumah besar saya: Indonesia. Indonesia yang begitu rumit peraturannya.

Saya harus pulang ke Indonesia untuk terus mengurus semua itu. Saya menyesal telah berinisiatif mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim tersebut. Menyesal luar biasa. Tapi sudah tidak bisa mundur lagi. Meski kondisi badan saya sudah sedemikian parah, saya tidak bisa lari dari tanggung jawab itu. Tidak pantas saya sebutkan di sini apa usaha yang saya lakukan untuk mengatasi kebuntuan di kantor (Soegiharto, sebelum dicopot) menteri BUMN. Yang penting, akhirnya sang menteri mengeluarkan surat persetujuan. Sebuah persetujuan yang sudah sangat mahal; bukan saja karena prosesnya, tapi juga akibatnya. Lambatnya proses ini telah membuat biaya investasi membengkak luar biasa.

Tapi, ini sudah bukan lagi soal untung rugi. Ini soal krisis listrik yang harus diatasi. Tiga-empat bulan lagi (akhir tahun ini), insya Allah Kaltim mulai bisa mengatasi kelangkaan listrik. Liver baru saya mungkin juga akan ikut berbinar-binar. Saya dengar setelah soal Kaltim itu selesai, berturut-turut banyak izin yang ditandatangani PLN untuk investor-investor lain.

Dalam perjalanan pulang untuk mengurus listrik itu, saya bisa mampir ke Singapura. Saya ingin bertanya ke dokter di Singapura, benarkah limpa saya harus dipotong? Mengapa dokter di Singapura sama sekali tidak pernah menyinggung soal limpa? (Bersambung)